SUMBANGSI
PEMIKIRAN DAN KARYA AL-GHAZALI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Abdul Latif
Dosen: STAI Al-Gazali Bone
Abstrak: Jurnal ini membahas secara analisis deskriptif tentang Sumbangsi Pemikiran Dan Karya Al-Ghazali Terhadap
Perkembangan Pendidikan Islam, dengan merumuskan permasalahan. Bagaiman
sumbangsi pemikiran dan karya Al-Ghazali terhadap perkembangan pendidikan Islam?
Adapun hasil yang didapatkan dari sumbangsi pemikiran dan karya Al-Ghazali terhadap perkembangan
pendidikan Islam adalah: 1) Al-Ghazali
telah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran
dan pendidikan dengan
menetapkan sistem pendidikan itu haruslah
mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas, sehingga
pendidikan Islam mempunyai tujan utama pembentukan akhlakul al-karimah untuk mengantarkan
peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 2) Kurikulum, Al-Ghazali telah mengusulkan dan
menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga
ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya, 3) Telah
menggambarkan tugas dan syarat pendidik serta menetapkan sifat-sifat dan kode etik peserta didik
yang berkewajiban melaksanakannya dalam proses belajar mengajar, 4) Al-Ghazali
telah menetapkan metode yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik
sendiri, seperti metode keteladanan,
metode pembiasaan, metode pergaulan yang baik, metode koreksi diri (metode
pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri kemudian merubahnya
menjadi kebaikan), dan metode cerita atau kisah, 5) Al-Ghazali telah mengajukan konsep
pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya.
Karya Imam
Al-Ghazali, telah menjadi insfirasi dari tokoh Islam yang lain karena Imam Al-Ghazali
telah memberikan konsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian
pokok, klasifikasi tersebut terdapat sepuluh bagian pembahasan utama (kitab)
secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama
pengetahuan Islam, yakni syari`at, thariqat, dan haqiqat. Kitab Al-Ghazali
khususnya Ihya’ Ulum Al-Din sangat digemari oleh banyak kalangan, oleh fukaha,
Ihya’ Ulum Al-Din dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih, dan para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang
tidak boleh ditinggalkan. Ihya’ Ulum al-Din ini
terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah, bagian kedua muamalah, dan
ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian penyelamat.
A. Pendahuluan
Eksisnya pemikiran para tokoh Islam terdahulu sangat
mempengaruhi dan memberikan sumbangsi terhadap perkembangan dunia pendidikan
Islam, mengenal para tokoh pendidikan Islam merupakan salah satu langkah yang
seharusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan harus menjadi kebanggaan untuk
selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta mensosialisasikan dikalangan
umum. Generasi penerus Islam dapat berbangga hati karena adanya tokoh yang telah
melahirkan konsep pemikiran dan karyanya sebagai referensi generasi berikutnya
dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Salah satu tokoh Muslim yang hasil pemikirannya telah
banyak memberikan sumbangsi terhadap kemajuan pendidikan Islam adalah Imam Al-Ghazali. Bagi negara timur tengah maupun
barat hampir semua mengenal Al-Ghazali yang kehadirannya
banyak memberikan khazanah bagi kehidupan manusia. Sosok figur Al Ghazali
sebagai pengembara ilmu yang sarat akan pengalaman mengantarkan posisinya
menjadi personifikasi di segala bidang dan setiap zaman. Kegigihannya dalam
menelusuri kebenaran ilmu yang bermodalkan otak brilian cemerlang, menjadi ciri
keulamaan dan kecendikiawanannya.
Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali
adalah dengan mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan
terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan
ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia
seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep
pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini.
B. Biografi
Al-Ghazali
Nama Al-Ghazali ialah, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Beliau lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang
terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah
seorang sufi yang sangat wara’, yang hanya makan dari usaha tangannya
sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal
sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya
pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan pendidikan.[1]
Terdapat perbedaan nama “Al-Ghazali” kadang-kadang
di ucapkan Al-Ghazzali yang diambil dari kata Ghazzal artinya tukang pemintal
benang karena Ayahnya tukang pemintal benang. Sedang Al-Ghazali di ambil dari
kata Ghazalah nama kampung kelahiran
Al-Ghazali sebutan inilah yang banyak dipakai.[2]
Al-Ghazali termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar
Hujjatul’ Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).[3]
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya
meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan
disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka
dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu
pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika
sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dari kota
kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[4] Pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus
kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali
ke Thus lagi.[5]
Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari
dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh
sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa.
Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi,
kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi
kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam
ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga
mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin
mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya.
Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.
Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat
dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[6]
Dari beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan
Agama lainnya. Pada periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga
dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya
padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku. Dengan
kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam
mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih,
Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam
nan menenggelamkan).[7]
Dari
Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar.
Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani
Saljuk.Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian
memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah,
dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia
menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan.
Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini
ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian
meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang
diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak
menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul
Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke
Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar
dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya
yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat
spesialis dalam bidang agama.
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada
tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak
bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan
mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut
ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadil akhirah 505 H/18 desember 1111 M,
Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia
55 tahun.
C.
Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Pendidikan Islam
Al-Ghazali
termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar
terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak
kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali
lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat
menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak
tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih,
murni laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari gambaran
apapun.
1.
Pendidikan dan Tujuan
Pendidikan Islam
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya
terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[8] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang
mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali,
dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu
tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau
ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu
bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang
bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru.
Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[9]
Oleh karena itu
arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai
tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung
hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup
selalu berkedudukan sebagai murid.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali
menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan
ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi
atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia
untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak
mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia
yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, bukan untuk mencari kedudukan,
kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian,
dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali
terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan banyak
memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.[10]
Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam
menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari
ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud
ibadah kepada Allah. Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul
al-karimah, tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu
mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.[11]
Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses
pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam,
memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa
pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.[12]
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam al-Qur’an.[13]
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[14]
Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1)
Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu
sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah swt, (2) Tujuan utama pendidikan
islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah; (3) Tujuan pendidikan Islam adalah
mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[15] Perumusan ketiga tujuan pendidikan
tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan
tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah
sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri
dengan Allah swt.
Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap
agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi
tanpa mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan
dengan trend-trend keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan
ruang yang cukup dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan
catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk
menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.[16]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan
al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan
kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga
keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam
sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan
manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud
kepada Allah swt, Tuhan semesta
alam.
2. Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan
kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi
dengan lingkungannya,[17]
atau seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik
agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat
dipahami dari pandangan mengenai Ilmu Pengetahuan.[18]
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dipelajari atau wajib
dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok ilmu, yaitu:
a.
Ilmu
yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia
di dunia dan di akhirat. Misalnya ilmu sihir dan ilmu perdukunan.
b.
Ilmu
yang terpuji, banyak atau sedikit. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa
yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Misalnya ilmu tauhid.
c.
Ilmu
yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ini dapat
membawa kegoncangan iman dan meniadakan Tuhan seperti ilmu filsafat.
Menurut Nata,
yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali
ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang
hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain.
Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia,
menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut
al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan
(hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly (yaitu semacam astrology dan meramal nasib berdasarkan
petunjuk bintang). Ilmu ini
menurut al-Ghazali tercela menurut syara’, karena dapat menyebabkan manusia
menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir. Tapi beliau masih memberi
toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum
untuk mengetahui letak kiblat.[19]
Dari
ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok
dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a.
Ilmu
yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu
agama, ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah.
b.
Ilmu
fardhu kifayah. Ilmu ini adalah ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan
hidup duniawi, misalnya matematika, kedokteran, dan pertanian.
Al-Ghazali
mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah sebagai
berikut:
a.
Ilmu
Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fikih, hadits, dan tafsir.
b.
Sekumpulan
bahasa, nahwu, dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi
membantu ilmu-ilmu agama.
c.
Ilmu-ilmu
fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka
macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
d.
Ilmu
kebudayaan seperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[20]
Dari penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan
ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat
kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut
al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi
terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan
ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena
ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk
keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah swt.
3. Pendidik
Paradigma yang nampak dari Al-Ghazali yaitu bahwa
pendidik merupakan orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada
ibadah setahun. Dari pandangan beberapa ulama’ Al-Ghazali berasumsi bahwa
pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan
memperoleh pancaran cahaya keilmuan dan keilmiahannya.
Dalam
pandangan Al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai tugas yang utama yaitu
menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawa hati manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini karena pada dasarnya tujuan utama
pendidikan islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, kemudian
realisasinya pada kesalehan sosial dalam masyarakat sekelilingnya.
Kesuksesan pendidik akan dapat dilihat dari keberhasilan aktualisasi perpaduan
antara iman, ilmu, dan amal shaleh dari peserta didiknya setelah mengalami
sebuah proses pendidikan.[21]
Dalam pandangan
al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia
juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang
pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik
ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang
dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti
jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau
seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka,
barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul
perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”[22]
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi
tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam
bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah
yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Di samping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan
kriteria-kriteria khusus, yaitu:
a. Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang.
b.
Meneladani
Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
c.
Memberikan
peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah swt.
d.
Memperingati
murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian,
makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
e.
Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu
dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
f.
Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya
dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
g.
Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid
sesuai dengan perbedaan usianya.
h.
Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan
berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.[23]
4. Peserta Didik
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah
individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan
religious dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid,
lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah
dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah swt. Fitrah itu sengaja
disiapkan oleh Allah swt sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah
cenderung kepada agama tauhid (Islam).[24]
Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Sifat-sifat
dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya
dalam proses belajar mengajar. Al-Ghazali, merumuskan sebelas pokok kode etik
peserta didik, yaitu:
a.
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah swt, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari
akhlak yang rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang
terpuji.
b.
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya, belajar tidak
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi belajar juga berjihad melawan
kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan
manusia dan Allah swt.
c.
Bersikap
tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi
untuk kepentingan pendidikannya.
d.
Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbegai aliran, sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e. Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun duniawi,
serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah).
f. Belajar dengan
bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran
yang sukar atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah.
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk
kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki
spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas
ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektifitas dalam
memandang suatu masalah.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah yang
terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu
duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi
suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan membahagiakan,
menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
k. Peserta didik harus tunduk pada
nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode madzhab yang diajarkan oleh pendidik.[25]
5.
Metode Pembelajaran
Pendidikan
Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk
menghantarkan kegiatan pendidikannya kearah tujuan yang dicita-citakan. Metode
juga merupakan syarat untuk efesiensinya aktifitas kependidikan Islam. Maka
dari itu, metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan
dengan mengacu pada nilai-nilai Islam dengan harapan proses tersebut dapat
diterima, dapat dipahami, dihayati, dan diyakini sehingga dapat memotifasi
peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.[26]
Dalam
masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, karena ia
sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap peserta didik. Atas dasar
pandangan Al-Ghazali yang bercorak empiris itu maka tergambar pula dalam metode
pendidikan yang diinginkan. Diantaranya lebih menekankan pada perbaikan sikap
dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik, seperti berikut.
a.
Guru
harus bersikap mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri.
b.
Guru
tidak usah mengharapkan upah dari profesinya, karena mendidik merupakan
pekerjaan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. Upahnya adalah terletak pada diri
anak didik yang setelah dewasa menjadi orang yang mengamalkan hal-hal yang ia
ajarkan.
c.
Guru harus memberi nasehat kepada anak
didiknya agar menuntut ilmu tidak untuk kebanggaan diri atau untuk mencari
keuntungan ribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d.
Guru
harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu yang
dapat membawa kebahagiaan dunia akhirat.
e.
Guru
harus memberi contoh dan teladan yang baik sehingga anak didik mencontoh
tingkah lakunya.
f.
Guru
harus mengajarkan apa yang sesuai dengan tingkat kemampuan akal anak didik.
Jangan mengajarkan hal-hal yang belum dapat ditangkap oleh akal pikirannya.
g.
Guru harus mengamalkan ilmunya, karena
ia adalah idola di mata anak. Bila tidak mengamalkan ilmunya, niscaya orang
akan mencemoohkannya.
h.
Guru
harus dapat memahami jiwa anak didiknya. Ia harus mempelajari jiwa mereka agar
tidak salah mendidik mereka.
i.
Guru
harus dapat mendidik keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikirannya
tunduk kepada ajaran Islam.
Dengan
demikian jelaslah bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para
pendidik adalah yang berprinsip pada child centered yang lebih
mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Adapun beberapa metode pendidikan
Islam menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
a.
Metode
Keteladanan
Metode ini lebih dikhususkan bagi pengajaran agama untuk
anak-anak. Pembinaan budi pekerti sangatlah diutamakan, hal ini mendapatkan
perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena pada perinsipnya pendidikan adalah
sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu Guru
dan Murid. Oleh karena itu factor keteladanan menjadi bagian yang utama dan
sangat penting di dalam metode pembelajaran.
Di dalam kitab Ayyuha al-Walad al-Ghazali banyak memberikan
nasihat-nasihat pendidikan lebih ditekankan pada masalah praktek dalam
pembelajaran atau yang sering disebut dengan metode keteladanan. Diantara yang
beliau katakana adalah bahwa, “Duhai anakku! Apa yang kaliyan katakana dan
kerjakan harus sesuai dengan sara’, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai
syariat adalah sasar (dhalalah). Bahkan lebih lanjut beliau mensyaratkan orang
yang menjadi Da’i harus terlebih dahulu mengamalkannya, karena akan menjadi
tauladan bagi masyarakat secara luas.
b.
Metode
Pembiasaan
Al-Ghazali juga menekankan Metode Pebiasaan. Dalam hal ini
menurut beliau pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah
(ketekunan) dan latihan jiwa. Beliau berkata “barang siapa yang ingin
menjadikan dirinya bermurah hati, maka caranya adalah membebani dirinya dengan
perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermawankan hartanya. Maka jiwa
tersebut akan selalu cenderung berbuat baik dan ia terus menerus melakukan
mujahadah (menekuni) perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak.
c.
Metode
Pergaulan yang Baik.
Menurut Al-Ghazali
Metode Pergaulan Yang Baik adalah dengan menyaksikan Orang-orang yang
memiliki perbuatan-perbuatan yang bagus dan bergaul dengan mereka. Karena
tabiat manusia itu mencuru dari tabiat yang baik dan yang buruk. Menurut metode
ini seorang dapat memperbaiki dirinya
dengan menyaksikan dan bergaul dengan Orang-orang yang baik akhlaknya kemudian
diterapkan pada diri sendiri.
Orang yang masuk pada sebuah kmunitas baik itu sengaja
ataupun tidak sengaja akan memberikan pengaruh terhadap orang tersebut. Oleh
karenanya Pendidik harus selalu mengawasi dan menjaga anak didik serta
menciptakan lingkungan dengan aktivitas yang baik bagi anak didik mereka
sehingga anak didik terbiasa dengan pergaulan yang baik agar anak didik
mempunyai Akhlak yang baik.
d.
Metode
Koreksi Diri.
Meode koreksi diri adalah metode
pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri kemudian merubahnya
menjadi kebaikan, maka baginya menurut Imam Al-Gahazali ada empat cara yaitu:
1)
Hendaknya ia duduk-duduk berkumpul
disamping Guru yang pandai melihat pada kekurangan diri, yang selalu
memperhatikan kepasa bahaya-bahaya yang samar, ia menetapkan
kekurangan-kekurangan yang demikian ada pada dirinya sendiri dan ia mau
mengikuti petunjuk guru untuk bermujahadah. Ini
adalah keadaan seorang anak didik bersama gurunya, dan guru bartugas
menunjukkan kekurangan-kekurangan anak didikserta diajarkan pula cara
pengobatannya.
2)
Hendaknya ia mencari teman yang benar,
yang tajam mata hatinya dan yang kuat baragama, maka ditugaskanlah temannya itu
mengoreksi dirinya, untuk memperingatkan tingkahlaku dan perbuatannya.
3)
Hendaknya ia mampu mengambil faidah,
untuk mengetahui kekurangan dirinya dari perkataan-perkataan orang yang tidak
menyukainya karena perkataan orang-orang yang seperti itu adalah
kejelekan-kejelekan.
4)
Hendaknya ia mau berkumpul-kumpul
dengan orang lain dan setiap apa yang bisa dilihat dari perbuatan yag tercela,
diantara orang banyak hendaknya dicari pada dirinya sendiri dan diumpamakan untuk
dirinya sendiri.
e.
Metode
Cerita Atau Kisah.
Metode
lainnya adalah Metode Cerita atau Kisah Cerita adalah hiburan yang
membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal (peristiwa, kejadian dan
sebagainya) selain itu cerita juga bisa diartikan sebagai suatu ungkapan,
tulisan yang berisikan runtutan peristiwa, kejadian yang bisa disebut juga
dengan dongeng atau kisah, dengan demikian cerita adalah suatu ungkapan,
tulisan yang dituturkan oleh seseorang kepada orang lain, kelompok, umum, baik
itu mengenai pengalamannya pribadi maupun pengalaman orang lain yang
benar-benar terjadi ataupun hanya merupakan khayalan atau imajinasi saja.
Model ini dilatarbelakangi oleh
kewajiban seseorang untuk mengamalkan ilmunya, sebab seperti sabda nabi: bahwa
azab (siksa) yang paling pedih diakhirat nanti adalah dikenakan oleh orang Alim
(berilmu) yang tidak diberikan manfaat untuk mengamalkan ilmunya. Oleh Allah swt.
Dalam hal yang
berhubungan dengan metode pendidikan, Al-Ghazali menekankan pentingnya
bimbingan dan pembiasaan. Dalam menerapkan metode tersebut Al-Ghazali
menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut diselaraskan
dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya
tidak terlepas dari hubungannya dengan nilai manfaat.[27]
Al-Ghazali
mengemukakan beberapa asas-asas metode mengajar sebagai berikut
1)
Memperhatikan tingkat daya pikir anak. Al-Ghazali
menyarankan pada para guru: “seorang guru hendaknya dapat memperkirakan daya
pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belun sampai tingkat
akal pikirannya, sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul
otaknya.”
Jelaslah bahwa, seorang guru seharusnya
dapat memperkirakan mata pelajaran yang dapat dijangkau oleh pemahaman anak,
yaitu memberikan pelajaran dan sesuatu hakikat pada anak apabila diketahui
bahwa anak itu akan sanggup memahaminya dan menempatkan setiap anak pada tempat
yang wajar sesuai dengan kemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat
kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat mengertin, memahami
dan menguasai mata pelajaran itu dengan sesungguh-sungguhnya.
2)
Menerangkan pelajaran dengan cara yang
sejelas-jelasnya,“seorang anak yang masih rendah tingkat berfikirnya, hendaklah
diberikan pelajaran dengan keterangan yang jelas dan pantas baginya” ada perbadaan
mengajar bagi nak yang bodoh dengan anak yang pintar. Anak yang bodoh harus
diterangkan secara berulang-ulang, yang jalas dan mudah sesuai dengan tingkat
pemahamannya, agar dapat memelihara kadar kelemahannya sehingga tidak ada
pengaruh buruk dalam jiwanya seperti kurangnya semangat belajar atau menjadikan
kacau dan gelisah pikirannya. Sebaliknya anak yang cerdas cukup dengan
penjelasan sekali, singkat dan ringkas saja ia telah memahaminya, bahkan ia
mengerti dengan isyarat. Prinsip ini sangat penting dan telah banyak menjadi
anutan serta banyak pula diterapkan dalam dunia pendidikan modern seperti
penerapan penarapan sistem pengajaran dengan modul.
3)
Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang
kongkrit kepada yang abstrak. “seorang guru janganlah meninggalkan nasihat
sedikitpun, yang demikian itu melarangnya mempelajari ilmu pengetahuan pada
tingkat yang belum berhak untuk dipelajari selain pelajaran yang sedang di
ajarkannya saat itu, seperti mempelajari ilmu pengetahuan yang tersembunyi
(abstrak) sebelum menguasai ilmu pengetahuan yang kongkrit.” Mengajarkan ilmu
pengetahuan itu harus dimulai dari yang telah dibekali kepada yang belum
dibekali, dari yang mudah kepada yang sulit, dari yang umum kepada yang khusus,
dari yang global kepada yang terperinci, dari yang dasar kepada yang
bercabang-cabang begitupun dari yang abstrak kepada yang kongkrit. Apabila
tidak demikian, maka akan mendangkalkan otaknya, melelahkan akal pikiran dan
mengaburkan pemahaman.
4)
Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan
cara berangsur-angsur. “seorang guru yang memegang satu vak mata pelajaran,
hendaklah memberi kesempatan pada murid-murid untuk mempelajari mata pelajaran
lainnya. Demi kemajuan murid dengan cara berangsur-angsur dan setingkat demi
setingkat.” Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru dalam memberikan
pelajaran dilakukan dengan cara berangsur-angsur, yaitu memperhatikan
memperhatikan kemampuan pikirannya dan kesediaan menerima pelajaran untuk
mencapai setingkat demi setingkat, dan dinaikkan ke tingkat berikutnya dengan
penjelasan berikutnya.
Dari pembahasan di atas, dapat dipahami
bahwa pandangan Al-Ghazali mengenai asas-asa metode mengajar tidak berbeda
dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan dewasa ini, atau dengan
kata lain Al-Ghazali telah meletakkan dasar-dasar dan pirnsip-prinsip metode
mengajar pada hampir seribu tahun yang lampau, sedangkan kini sudah diperluas
dan dikembangkan oleh para ahli pendidikan modern.[28]
6. Pandangan
Al-Ghazali Tentang Pembelajaran
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran
oleh guru. Ia juga menekankan bahwa para guru harus mangamalkan ajaran-ajaran
yang diajarkannya. Point lainnya yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru
agar menarik perhatian dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan
cara bekerjasama dengan para siswa dengan
cara demikian, para guru telah memberikan fasilitas dan kesempatan
kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.[29]
Seorang pendidik diumpamakan seperti penanam, sementara anak didik sebagai
orang yang mengambil manfaat diumpamakan seperti tanahnya, dan ilmu diumpamakan
sebagai benih yang disemaikan. Pandangan
Al-Ghazali tentang pembelajaran tidak secara spesifik diuraikan namun dari
penjabaran dapat diuraikan :
a.
Menciptakan rasa aman, kasih sayang, dan
lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan siswa belajar dengan nyaman. Dan
hendaknya seorang guru memperlakukan siswa dengan kasih sayang sebagaimana ia
menyayangi anaknya. Imam Al-Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin :
Guru adalah orang tua yang sebenarnya karena orang tua yang melahirkan dan
membesarkan kita, mereka menyebabkan kehidupan didunia yang fana, sedangkan
seorang guru memberikan Ilmu untuk mencapai kehidupan yang kekal.
b.
Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi
fisik dan tingkat pemahaman/keintelektualan siswa. Seorang guru harus memahami
objek sasarannya, dan harus menggunakan bahasa dan perkataan yang mudah
dimengerti oleh siswanya.
c.
Mengajar dengan contoh (keteladanan). Murid
belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi mata mereka telah menangkap
penampilan, sikap, dan segala tingkahlaku guru yang tampak.
d.
Mengajar dengan Metode peraktek. Hal ini
berguna untuk menguatkan ingatan siswa dan menambah Ilmu yang lain. “lakukanlah
apa yang sudah kamu ketahui untuk menyingkap tabir apa yang belum dan tidak
kamu ketahui.”[30]
e.
Membimbing menasehati murid dari akhlak yang
tercela. (hasud, iri, sombong, marah, rakus. Dan lainnya) haruslah dilakukan
dengan cara yang halus, baik dengan sindiran atau kiasan, karena jika dilakukan
dengan terang-terangan cara ini akan merendahkan harga diri siswa.[31]
f.
Mengajarkan ilmu dengan secara mendalam
kemudian melakukan tafakkur. “sesorang
tidak akan mampu
mempelajari segala sesuatu yang makro dan mikro secara keseluruhan, tetapi cukup mempelajari satu
hal dan kemudian ia kembangkan pengetahuan tersebut dengan bertafakkur.[32]
Mengenai proses
pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi,
metode, dan media atau alat pengajarannya. Materi pengajaran yang diberikan
harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia,
intelegensi, maupun minat dan bakatnya.[33]
Dalam proses
pembelajaran ini pun pemikiran al-Ghazali masih relevan bagi pendidikan saat
ini. Seluruh komponen tersebut haruslah terpadu agar tercapai pembelajaran yang
optimal.
D. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali meninggalkan banyak tulisan.
Karya-karya tulis yang ditinggalkan beliau menunjukkan keistimewaannya sebagai
seorang pengarang yang produktif. Pada seluruh masa hidupnya, baik sebagai
penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad dan sewaktu mulai dalam
masa skeptic (Al-Ghazali
memulai mengarang sebagai seorang yang skeptis. Sikap skeptisnya itulah yang mendorongnya untuk mencari dan
mencari ilmu, serta dengan ilmu beliau melakukan petualangan dari keraguan
menuju keyakinan sebagaimana dilakukan banyak ilmuwan dari timur maupun barat.
Lihat Abdul Ghani Abud, "Wahai Ananda" Wasiat al-Ghazali atas
Pengaduan Seorang Muridnya),[34]
di Naisabur
maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, beliau tetap aktif mengarang.
Al-Ghazali mulai mengarang saat berusia 20
tahun, ketika itu beliau masih berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini di
Naisabur. Jika beliau meninggal dalam usia 55 tahun sesuai dengan kalender
hijriyah, berarti beliau mengarang buku-bukunya selama 35 tahun. Jumlah bukunya
mencapai 380 buah, baik yang kecil sampai yang besar seperti Ihya' Ulumuddin.[35] Beliau melakukan perjalanan selama 10 hingga 11
tahun dan menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis dan mengajar. Selain
itu, Adapun dalam bukunya al-Ghazali yang berjudul misykaat al-Anwaar wa
misshfaat al-Asraar disebutkan
beberapa karangan al-Ghazali, adalah sebagai berikut:
1.
Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai
karangannya yang pertama dan berisi masalah-masalah
filsafat.
2.
Tahafut al-Falasifah (Kekacauan
Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau berada di Baghdad
tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat
dan para filsuf dengan keras.
3.
Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu).
4.
Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang
terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah
antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih,
tasawuf, dan filsafat.
5.
Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat
Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran
Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan.
6.
Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional).
7.
Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak),
buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
8.
Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada
Tuhan).
9.
Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah).
10. Ayyuha al-Walad.
11. Al-Mustashfa.
12. Iljam al-‘Awwam
‘an ‘Ilm al-Kalam.
13. Mizan al-‘Amal.
14. Mahakk
al-Nazhar.[36]
Dalam berbagai macam leteratur disebutkn bahwa karya al-Ghazali mencapai
ratusan buah akan tetapi penulis hanya dapat menelusuri beberapa buah karyanya
yang dianggap sangat menonjol sebagai berikut:
Pertama Ihya’
Ulum al-Din. Kitab ini menurut Abu Bakar Ibnu Arabi, salah seorang muridnya disusun diawal masa ia melakukan uzlah
(pengasingan diri). Disebutkan bahwa Abu Bakar bertemu dengan Al-Ghazali di
madrasah al-Salam pada bulan Jumadil Akhir tahun 490 H. Al-Ghazali saat itu telah melakukan riyadhah (olah batin)
ala tarekat sufinya sejak tahun 485H. Dan ia belajar kepadanya tentang kitab yang
dinamakan Ihya’ Ulum al-Din.
Adapun faktor
yang melatar belakangi disusunnya kitab tersebut menurut Abd. Al-Halim Mahmud
berikut tujuan yang akan dicapainya serta subtansi isinya adalah keikhlasan.
Konon disebutkan bahwa seorang sahabatnya meminta wasiat kepadanya menjelang
wafatnya ia menjawab dengan kalimat “anda harus ikhlas”. Kalimat itu ia
ulang-ulang sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bahkan menurut pengakuannya
sendiri ia pernah melihat dirinya tidak ikhlas , cita-citanya semuanya dimaksudkan untuk mencari popularitas jabatan, status sosial
dan mencari muka dihadapan pejabat lalu ia berontak dan menceburkan diri
kedalam lautan ikhlas.
Lebih dari itu
al-Ghazali melihat bahwa setan telah menguasahi kebanyakan masyarakat. Agama
dalam pandangan ulama’nya apalagi yang lain hanya merupakan fatwa pemerintah
atau perdebatan untuk menyerang dan mencari menang atau merupakan ungkapan-ungkapan yang
indah yang dijadikan sarana para dai dan muballigh untuk menarik perhatian
masyarakat. Pada sisi lain al-Ghazali ingin mengembangkan keikhlasan kedalam
kalbu-kalbu masyarakat dan menjadikannya sebagai asas dan syiar sebagaimana
yang telah dilakukan generasi awal Islam. Tidak syak lagi bahwa keikhlasan
beragama kepada Allah swt,
semata adalah tauhid dan tauhid adalah inti agama Islam. Karakteristik,
tujuannya dan sasarannya. Semua ini faktor-faktor yang melatar belakangi
disusunnya Ihya’ Ulum al-Din. Kitab
Ihya’ Ulum al-Din ini terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah,
bagian kedua muamalah, dan ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian
penyelamat. Bagian pertama yakni bagian ibadah menjelaskan mengenai tatakrama
beribadah. Sunah-sunahnya dan rahasia-rahasia yang dibutuhkan untuk diketahui
mulai dari aspek aspek keikhlasan di dalamnya dan penempatan pada asas-asas yang dicintai Allah swt dan Rasulnya.
Pada bagian kedua yakni mu’amalah, dijelaskan rahasia-rahasia perdata yang
berlangsung ditengah-tengah masyarakat dan detail-detail semalunya serta
pentingnya kewaraan didalamnya yang diperlukan orang yang taat menjalankan
ajaran-ajaran agama. Sementara bagian ketiga, yaitu perusak membicarakan
tentang akhlak tercela, penyebab-penyebabnya dan bahaya yang ditimbulkan serta
menjelaskan cara-cara pengobatannya sehingga kalbu manusia bersih darinya. Pada
bagian terakhir yaitu bagian penyelamat dijelaskan mengenai prilaku yang
terpuji dan sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepadanya berikut mamfaat
yang dapat diperoleh dari prilaku yang terpuji tersebut.
Samua bagian itu dimulai dengan menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an,
hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dan atsar sahabat Nabi dan tabi’in serta
hikayat-hikayat orang-orang sholeh sebagai pendukungnya ayat dan hadis yang
dikemukakannya.
Kitab kedua
adalah Tahafut al-Falasifah. Kitab ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa
akal manusia semata dalam mencari hakikat dan usaha mencapainya adalah seperti
serangga mencari sinar siang ia tertipu jika melihat cahaya ia melemparkan diri
kedalamnya. Lalu kebingungan di dalamnya.
Manusia keliru dan tertipu dengan ukuran logika yang tidak tepat, akibatnya
binasa sebagaimana biasanya serangga tersebut. Jelasnya al-Ghazali ingin
mengatakan bahwa para filusuf itu tertipu, dalam beberapa hal, mereka terlalu
cepat menggapainya tampa berpikir panjang, lalu mereka kebingungan dan binasa
selamanya.
Tujuan utama
kitab ini tidak untuk merontokkan pandangan-pandangan para filusuf itu sendiri,
sebab menurutnya sebagian dari pandangan itu adalah benar dan sesuai dengan
ajaran agama seperti ilmu hitung/ matematika. ilmu ukur dan ilmu alam. Akan
tetapi yang diinginkan adalah merontokkan rasionalismenya yang dikaitkan dengan
ilmu agama yang melibatkan misalnya tidak percaya kepada kebangkitan jasmani di
akhirat, mengingkari jasmani disorga dan menolak penderitaan jasmani di neraka.
Al-Ghazali ingin menetapkan bahwa akal manusia itu jika tidak mnjadikan
wahyu sebagai pembimbing dan penuntun dalam kaitannya dengan metafisika tidak
akan mampu utnuk mencapai pengetahuan yang benar, karena metafisika tidak dapat
di observasi dan dilakukan eksprimen yang berdiri bukan wilayah akal, akan tetapi
merupakan wilayah wahyu.
Kitab ketiga
yang penting adalah al- Ijtishad fi al-I’tiqad. Kitab ini merupakan suatu karya
kalam yang ditulis untuk mempertahankan akidah ahlusunnah secara rasional.
Kitab ini membicarakan tentang keesaan Allah. Sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatannya, sekaligus mengakal beberapa pandangan mu’ tazilah.
Kitab keempat adalah al-Risalah al-Qudsiyyah kitab ini menyajikan ilmu kalam
berikut dalil dalilnya baik dari nash maupun dari akal secara ringkas dan tidak
mendalam.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa sumbangsi pemikiran dan karya Imam Al-Ghazali terhadap perkembangan
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1. Dari segi pemikiran Imam Al-Ghazali telah
memberika sumbangsi terhadap:
a. Pendidikan dan tujuan pendidikan. Al-Ghazali telah banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Pendidikan
adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya
melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran
secara bertahap. Maka sistem pendidikan itu haruslah
mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Tujuan utama pendidikan
Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, mengantarkan peserta didik
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
b. Kurikulum, Al-Ghazali telah mengusulkan dan
menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga
ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya.
Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu
agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran,
matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam
pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang
terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
c. Pendidik, Al-Ghazali telah menggambarkan tugas
dan syarat pendidik, pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang
pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang diajarkan yang tercermin
dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah berakhlak baik dan memiliki fisik
yang kuat. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya
ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan
tugasnya.
d. Peserta didik, Al-Ghazali telah menetapkan sifat-sifat dan
kode etik peserta didik yang berkewajiban melaksanakannya dalam proses belajar
mengajar. Al-Ghazali, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
Belajar dengan niat ibadah, mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan
masalah ukhrawi, bersikap tawadlu’ (rendah hati), menjaga pikiran, mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta
meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah), belajar dengan bertahap atau
berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau
dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah, belajar ilmu sampai
tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, mengenal nilai-nilai
ilmiah, memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai
makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu duniawi, mengenal nilai-nilai ilmu
yang bermanfaat, peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
e. Metode pendidikan, Al-Ghazali telah menetapkan metode yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik
sendiri. Adapun
beberapa metode pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Metode keteladanan, metode pembiasaan, metode pergaulan yang baik, metode
koreksi diri (metode pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri
kemudian merubahnya menjadi kebaikan), dan metode cerita atau kisah.
f. Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep
pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya.
Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya
2. Karya Imam Al-Ghazali, telah menjadi insfirasi
dari tokoh Islam yang lain karena Imam Al-Ghazali telah memberikan konsep
materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing
klasifikasi tersebut terdapat sepuluh entri pembahasan utama (kitab). secara
global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan
Islam, yakni syari`at, thariqat, dan haqiqat. imam ghazali juga telah
mengkoneksikan ketiganya dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca.
Inilah beberapa alasan kenapa kitab Al-Ghazali khususnya Ihya’ Ulum Al-Din
sangat digemari oleh banyak kalangan, oleh fukaha, Ihya’ Ulum Al-Din dijadikan
sebagai rujukan standar dalam bidang fikih, dan para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang
tidak boleh ditinggalkan. Ihya’ Ulum al-Din ini
terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah, bagian kedua muamalah, dan
ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian penyelamat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.
Abdullah, M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung:
Mizan, 2002.
Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung:
Angkasa Bandung, 2003.
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis
Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: Mizan, 2003.
Al-Ghazali, Mutiara, Bandung: Mizan, 2003.
Arifin, Muzayyin, Filsafat
Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Daudy, Ahmad, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1989.
Hanafi, A, pengantar
filsafat Islam, Cet.
5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ibnu Rusn, Abidin,
Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan,
cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1998.
Jalaluddin
& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Mahdi Khan, Ali, Dasar-Dasar Filsafat Islam,
Pengantar Ke
Gerbang Pemikiran), (Bandung: Nuansa,
2004.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Nafis, Muhammad Muntahibun,
Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2011.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000.
Nizar, Samsul, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam, Cet. Ke-1; Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005.
Ramayulis, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Saloom, Gazi, dari kitab asli Al-Fikr
Al-Tarbawi 'Inda Al-Ghazali Kama Yabdu Min Risalatihi Ayyuhal Walad, Cet. I; Jakarta: Iiman, 2003.
Smith, Margareth, Al-Ghazali the Mistic
diterjemahkan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam
Al-Ghazali, (Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta:
Prenada Media Kencana, 2005.
[3]Margareth Smith, Al-Ghazali the Mistic diterjemahkan oleh Amrouni
dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali, ( Cet I. Jakarta
Riova Cipta, 2000), h. 1.
[5]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000), h. 82.
[6]M. Amin Abdullah, Antara
Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
h. 28.
[7]Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), h. 87.
[8]Abidin Ibnu
Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998, h. 56.
[10]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 161-162.
[11]Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), h. 87.
[15]Nisar, Op.Cit., h. 27.
[18]Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 6.
[22]Al-Ghazali, Mutiara
Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), h. 35.
[23]Abudin Nata, Op.Cit, h. 96-99.
[24]Nizar, Op.Cit, h. 89.
[27]Al-Ghazali, Op.Cit, h. 10.
[29]M. Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,
(Bandung: Mizan, 2002), h. 29.
[30]Samsu Nizar, Op.Cit, h. 87.
[31]Zianuddin Alavi, Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung:
Angkasa Bandung, 2003).
[32]Al-Ghazali, Op.Cit., h. 9.
[33]Ramayulis dan
Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Cet.
Ke-1; Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005), h. 14.
[34]Gazi Saloom, dari kitab
asli Al-Fikr Al-Tarbawi 'Inda Al-Ghazali Kama Yabdu Min Risalatihi Ayyuhal
Walad, (Cet. I; Jakarta: Iiman, 2003), h. 43.
[35]Abdul Ghani Abud, Op.Cit.,
h. 42.
[36]Ali Mahdi Khan,
Dasar-Dasar Filsafat Islam, (Pengantar Ke
Gerbang Pemikiran), (Bandung: Nuansa,
2004), h. 135.
0 komentar:
Posting Komentar