SELAMAT DATANG, SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR ANDA

Senin, 30 Januari 2017

ABD. LATIF, S.Pd.I., MA


SUMBANGSI PEMIKIRAN DAN KARYA AL-GHAZALI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Abdul Latif
Dosen: STAI Al-Gazali Bone

Abstrak: Jurnal ini membahas secara analisis deskriptif tentang Sumbangsi Pemikiran Dan Karya Al-Ghazali Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam, dengan merumuskan permasalahan. Bagaiman sumbangsi pemikiran dan karya Al-Ghazali terhadap perkembangan pendidikan Islam? Adapun hasil yang didapatkan dari sumbangsi pemikiran dan karya Al-Ghazali terhadap perkembangan pendidikan Islam adalah: 1) Al-Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan dengan menetapkan sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas, sehingga pendidikan Islam mempunyai tujan utama pembentukan akhlakul al-karimah untuk mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 2) Kurikulum, Al-Ghazali telah mengusulkan dan menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya, 3) Telah menggambarkan tugas dan syarat pendidik serta menetapkan sifat-sifat dan kode etik peserta didik yang berkewajiban melaksanakannya dalam proses belajar mengajar, 4) Al-Ghazali telah menetapkan metode yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri, seperti metode  keteladanan, metode pembiasaan, metode pergaulan yang baik, metode koreksi diri (metode pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri kemudian merubahnya menjadi kebaikan), dan metode cerita atau kisah, 5) Al-Ghazali telah mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya.
Karya Imam Al-Ghazali, telah menjadi insfirasi dari tokoh Islam yang lain karena Imam Al-Ghazali telah memberikan konsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok, klasifikasi tersebut terdapat sepuluh bagian pembahasan utama (kitab) secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan Islam, yakni syari`at, thariqat, dan haqiqat. Kitab Al-Ghazali khususnya Ihya’ Ulum Al-Din sangat digemari oleh banyak kalangan, oleh fukaha, Ihya’ Ulum Al-Din dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih, dan  para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Ihya’ Ulum al-Din ini terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah, bagian kedua muamalah, dan ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian penyelamat.


A.   Pendahuluan
Eksisnya pemikiran para tokoh Islam terdahulu sangat mempengaruhi dan memberikan sumbangsi terhadap perkembangan dunia pendidikan Islam, mengenal para tokoh pendidikan Islam merupakan salah satu langkah yang seharusnya dilakukan, dimiliki, dihayati dan harus menjadi kebanggaan untuk selalu mengangkat harkat dan martabatnya serta mensosialisasikan dikalangan umum. Generasi penerus Islam dapat berbangga hati karena adanya tokoh yang telah melahirkan konsep pemikiran dan karyanya sebagai referensi generasi berikutnya dalam mengembangkan pendidikan Islam.
Salah satu tokoh Muslim yang hasil pemikirannya telah banyak memberikan sumbangsi terhadap kemajuan pendidikan Islam adalah Imam  Al-Ghazali. Bagi negara timur tengah maupun barat hampir semua mengenal Al-Ghazali yang kehadirannya banyak memberikan khazanah bagi kehidupan manusia. Sosok figur Al Ghazali sebagai pengembara ilmu yang sarat akan pengalaman mengantarkan posisinya menjadi personifikasi di segala bidang dan setiap zaman. Kegigihannya dalam menelusuri kebenaran ilmu yang bermodalkan otak brilian cemerlang, menjadi ciri keulamaan dan kecendikiawanannya.
Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal terkait yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya. Di zaman yang modern ini sangat relevan untuk mengetahui konsep pendidikan dari tokoh Muslim terkemuka ini.

B.   Biografi Al-Ghazali
Nama Al-Ghazali ialah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Beliau lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’, yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan pendidikan.[1]
Terdapat perbedaan nama “Al-Ghazali” kadang-kadang di ucapkan Al-Ghazzali yang diambil dari kata Ghazzal artinya tukang pemintal benang karena Ayahnya tukang pemintal benang. Sedang Al-Ghazali di ambil dari kata Ghazalah  nama kampung kelahiran Al-Ghazali sebutan inilah yang banyak dipakai.[2] Al-Ghazali termasuk salah seorang pemikir Islam yang terbesar dengan gelar Hujjatul’ Islam (bukti kebenaran Islam) dan Zainu’d-Din (Hiasan Agama).[3]
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[4] Pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[5] Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.
Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[6] Dari beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya. Pada periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku. Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam nan menenggelamkan).[7]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar. Untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme. Yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar. Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadil akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.
C.  Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Pendidikan Islam
Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari gambaran apapun.
1. Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Islam
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[8] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.[9]
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a.  Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c.  Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e.  Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.[10]
Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah. Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.[11]
Menurut Nizar, al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan  merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila Allah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.[12]
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam al-Qur’an.[13]

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[14]

Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah swt, (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah; (3) Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[15] Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri dengan Allah swt.
Pendidikan islam itu secara umum mempunyai corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang terlihat nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan masalah keduniawian. Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend keagamaan semacam ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal.[16]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah swt, Tuhan semesta alam.
2. Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya,[17] atau seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dipahami dari pandangan mengenai Ilmu Pengetahuan.[18] Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dipelajari atau wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok ilmu, yaitu:
a.    Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat. Misalnya ilmu sihir dan ilmu perdukunan.
b.    Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya ilmu tauhid.
c.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ini dapat membawa kegoncangan iman dan meniadakan Tuhan seperti ilmu filsafat.
Menurut Nata, yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly (yaitu semacam astrology dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang). Ilmu ini menurut al-Ghazali tercela menurut syara’, karena dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir. Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.[19]
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua kelompok dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a.    Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab suci Allah.
b.    Ilmu fardhu kifayah. Ilmu ini adalah ilmu yang dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, misalnya matematika, kedokteran, dan pertanian.
Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah sebagai berikut:
a.    Ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fikih, hadits, dan tafsir.
b.    Sekumpulan bahasa, nahwu, dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu-ilmu agama.
c.    Ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
d.   Ilmu kebudayaan seperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[20]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah swt.
3. Pendidik
Paradigma yang nampak dari Al-Ghazali yaitu bahwa pendidik merupakan orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun. Dari pandangan beberapa ulama’ Al-Ghazali berasumsi bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmuan dan keilmiahannya.
Dalam pandangan Al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai tugas yang utama yaitu menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawa hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini karena pada dasarnya tujuan utama pendidikan islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, kemudian realisasinya pada kesalehan sosial dalam masyarakat sekelilingnya. Kesuksesan pendidik akan dapat dilihat dari keberhasilan aktualisasi perpaduan antara iman, ilmu, dan amal shaleh dari peserta didiknya setelah mengalami sebuah proses pendidikan.[21]
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini tercermin dalam tulisannya:

“Sebaik-baik ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”[22]
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Di samping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus, yaitu:
a.       Memperlakukan murid dengan penuh kasih sayang.
b.      Meneladani Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
c.       Memberikan peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah swt.
d.      Memperingati murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian, makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
e.       Menjadi teladan bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian dan spesialisasinya.
f.       Menghargai perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
g.      Memahami perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
h.      Berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.[23]
4. Peserta Didik
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religious dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah swt. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah swt sesuai dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama tauhid (Islam).[24] Untuk itu, seorang pendidik betugas mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Al-Ghazali, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:
a.    Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah swt, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
b.    Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Artinya, belajar tidak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi belajar juga berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah swt.
c.    Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
d.   Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbegai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
e.    Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah).
f.     Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah.
g.    Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h.    Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektifitas dalam memandang suatu masalah.
i.      Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.      Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
k.    Peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzhab yang diajarkan oleh pendidik.[25]
5. Metode Pembelajaran
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikannya kearah tujuan yang dicita-citakan. Metode juga merupakan syarat untuk efesiensinya aktifitas kependidikan Islam. Maka dari itu, metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan dikembangkan dengan mengacu pada nilai-nilai Islam dengan harapan proses tersebut dapat diterima, dapat dipahami, dihayati, dan diyakini sehingga dapat memotifasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.[26]
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, karena ia sangat menekankan pengaruh pendidik terhadap peserta didik. Atas dasar pandangan Al-Ghazali yang bercorak empiris itu maka tergambar pula dalam metode pendidikan yang diinginkan. Diantaranya lebih menekankan pada perbaikan sikap dan tingkah laku para pendidik dalam mendidik, seperti berikut.
a.    Guru harus bersikap mencintai muridnya bagaikan anaknya sendiri.
b.    Guru tidak usah mengharapkan upah dari profesinya, karena mendidik merupakan pekerjaan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw. Upahnya adalah terletak pada diri anak didik yang setelah dewasa menjadi orang yang mengamalkan hal-hal yang ia ajarkan.
c.    Guru harus memberi nasehat kepada anak didiknya agar menuntut ilmu tidak untuk kebanggaan diri atau untuk mencari keuntungan ribadi, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d.   Guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu yang dapat membawa kebahagiaan dunia akhirat.
e.    Guru harus memberi contoh dan teladan yang baik sehingga anak didik mencontoh tingkah lakunya.
f.     Guru harus mengajarkan apa yang sesuai dengan tingkat kemampuan akal anak didik. Jangan mengajarkan hal-hal yang belum dapat ditangkap oleh akal pikirannya.
g.    Guru harus mengamalkan ilmunya, karena ia adalah idola di mata anak. Bila tidak mengamalkan ilmunya, niscaya orang akan mencemoohkannya.
h.    Guru harus dapat memahami jiwa anak didiknya. Ia harus mempelajari jiwa mereka agar tidak salah mendidik mereka.
i.      Guru harus dapat mendidik keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikirannya tunduk kepada ajaran Islam.

Dengan demikian jelaslah bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik adalah yang berprinsip pada child centered yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Adapun beberapa metode pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
a.       Metode Keteladanan
Metode ini lebih dikhususkan bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Pembinaan budi pekerti sangatlah diutamakan, hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Ghazali, karena pada perinsipnya pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu Guru dan Murid. Oleh karena itu factor keteladanan menjadi bagian yang utama dan sangat penting di dalam metode pembelajaran.
Di dalam kitab Ayyuha al-Walad al-Ghazali banyak memberikan nasihat-nasihat pendidikan lebih ditekankan pada masalah praktek dalam pembelajaran atau yang sering disebut dengan metode keteladanan. Diantara yang beliau katakana adalah bahwa, “Duhai anakku! Apa yang kaliyan katakana dan kerjakan harus sesuai dengan sara’, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai syariat adalah sasar (dhalalah). Bahkan lebih lanjut beliau mensyaratkan orang yang menjadi Da’i harus terlebih dahulu mengamalkannya, karena akan menjadi tauladan bagi masyarakat secara luas.
b.      Metode Pembiasaan
Al-Ghazali juga menekankan Metode Pebiasaan. Dalam hal ini menurut beliau pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Beliau berkata “barang siapa yang ingin menjadikan dirinya bermurah hati, maka caranya adalah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermawankan hartanya. Maka jiwa tersebut akan selalu cenderung berbuat baik dan ia terus menerus melakukan mujahadah (menekuni) perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak.
c.       Metode Pergaulan yang Baik.
Menurut Al-Ghazali  Metode Pergaulan Yang Baik adalah dengan menyaksikan Orang-orang yang memiliki perbuatan-perbuatan yang bagus dan bergaul dengan mereka. Karena tabiat manusia itu mencuru dari tabiat yang baik dan yang buruk. Menurut metode ini seorang dapat memperbaiki  dirinya dengan menyaksikan dan bergaul dengan Orang-orang yang baik akhlaknya kemudian diterapkan pada diri sendiri. 
Orang yang masuk pada sebuah kmunitas baik itu sengaja ataupun tidak sengaja akan memberikan pengaruh terhadap orang tersebut. Oleh karenanya Pendidik harus selalu mengawasi dan menjaga anak didik serta menciptakan lingkungan dengan aktivitas yang baik bagi anak didik mereka sehingga anak didik terbiasa dengan pergaulan yang baik agar anak didik mempunyai Akhlak yang baik.
d.      Metode Koreksi Diri.
Meode koreksi diri adalah metode pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri kemudian merubahnya menjadi kebaikan, maka baginya menurut Imam Al-Gahazali ada empat cara yaitu:
1)   Hendaknya ia duduk-duduk berkumpul disamping Guru yang pandai melihat pada kekurangan diri, yang selalu memperhatikan kepasa bahaya-bahaya yang samar, ia menetapkan kekurangan-kekurangan yang demikian ada pada dirinya sendiri dan ia mau mengikuti petunjuk guru untuk bermujahadah. Ini adalah keadaan seorang anak didik bersama gurunya, dan guru bartugas menunjukkan kekurangan-kekurangan anak didikserta diajarkan pula cara pengobatannya.
2)   Hendaknya ia mencari teman yang benar, yang tajam mata hatinya dan yang kuat baragama, maka ditugaskanlah temannya itu mengoreksi dirinya, untuk memperingatkan tingkahlaku dan perbuatannya.
3)   Hendaknya ia mampu mengambil faidah, untuk mengetahui kekurangan dirinya dari perkataan-perkataan orang yang tidak menyukainya karena perkataan orang-orang yang seperti itu adalah kejelekan-kejelekan.
4)   Hendaknya ia mau berkumpul-kumpul dengan orang lain dan setiap apa yang bisa dilihat dari perbuatan yag tercela, diantara orang banyak hendaknya dicari pada dirinya sendiri dan diumpamakan untuk dirinya sendiri.  
e.       Metode Cerita Atau Kisah. 
Metode lainnya adalah Metode Cerita atau Kisah Cerita adalah hiburan yang membentangkan bagaimana terjadinya sesuatu hal (peristiwa, kejadian dan sebagainya) selain itu cerita juga bisa diartikan sebagai suatu ungkapan, tulisan yang berisikan runtutan peristiwa, kejadian yang bisa disebut juga dengan dongeng atau kisah, dengan demikian cerita adalah suatu ungkapan, tulisan yang dituturkan oleh seseorang kepada orang lain, kelompok, umum, baik itu mengenai pengalamannya pribadi maupun pengalaman orang lain yang benar-benar terjadi ataupun hanya merupakan khayalan atau imajinasi saja.
            Model ini dilatarbelakangi oleh kewajiban seseorang untuk mengamalkan ilmunya, sebab seperti sabda nabi: bahwa azab (siksa) yang paling pedih diakhirat nanti adalah dikenakan oleh orang Alim (berilmu) yang tidak diberikan manfaat untuk mengamalkan ilmunya. Oleh Allah swt.
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan, Al-Ghazali menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan. Dalam menerapkan metode tersebut Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut diselaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak terlepas dari hubungannya dengan nilai manfaat.[27]
Al-Ghazali mengemukakan beberapa asas-asas metode mengajar sebagai berikut
1)   Memperhatikan tingkat daya pikir anak. Al-Ghazali menyarankan pada para guru: “seorang guru hendaknya dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belun sampai tingkat akal pikirannya, sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadikan tumpul otaknya.”
Jelaslah bahwa, seorang guru seharusnya dapat memperkirakan mata pelajaran yang dapat dijangkau oleh pemahaman anak, yaitu memberikan pelajaran dan sesuatu hakikat pada anak apabila diketahui bahwa anak itu akan sanggup memahaminya dan menempatkan setiap anak pada tempat yang wajar sesuai dengan kemampuan akal pikirannya serta memperhatikan tingkat kecerdasan dan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat mengertin, memahami dan menguasai mata pelajaran itu dengan sesungguh-sungguhnya.  
2)   Menerangkan pelajaran dengan cara yang sejelas-jelasnya,“seorang anak yang masih rendah tingkat berfikirnya, hendaklah diberikan pelajaran dengan keterangan yang jelas dan pantas baginya” ada perbadaan mengajar bagi nak yang bodoh dengan anak yang pintar. Anak yang bodoh harus diterangkan secara berulang-ulang, yang jalas dan mudah sesuai dengan tingkat pemahamannya, agar dapat memelihara kadar kelemahannya sehingga tidak ada pengaruh buruk dalam jiwanya seperti kurangnya semangat belajar atau menjadikan kacau dan gelisah pikirannya. Sebaliknya anak yang cerdas cukup dengan penjelasan sekali, singkat dan ringkas saja ia telah memahaminya, bahkan ia mengerti dengan isyarat. Prinsip ini sangat penting dan telah banyak menjadi anutan serta banyak pula diterapkan dalam dunia pendidikan modern seperti penerapan penarapan sistem pengajaran dengan modul.
3)   Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yang kongkrit kepada yang abstrak. “seorang guru janganlah meninggalkan nasihat sedikitpun, yang demikian itu melarangnya mempelajari ilmu pengetahuan pada tingkat yang belum berhak untuk dipelajari selain pelajaran yang sedang di ajarkannya saat itu, seperti mempelajari ilmu pengetahuan yang tersembunyi (abstrak) sebelum menguasai ilmu pengetahuan yang kongkrit.” Mengajarkan ilmu pengetahuan itu harus dimulai dari yang telah dibekali kepada yang belum dibekali, dari yang mudah kepada yang sulit, dari yang umum kepada yang khusus, dari yang global kepada yang terperinci, dari yang dasar kepada yang bercabang-cabang begitupun dari yang abstrak kepada yang kongkrit. Apabila tidak demikian, maka akan mendangkalkan otaknya, melelahkan akal pikiran dan mengaburkan pemahaman.
4)   Mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara berangsur-angsur. “seorang guru yang memegang satu vak mata pelajaran, hendaklah memberi kesempatan pada murid-murid untuk mempelajari mata pelajaran lainnya. Demi kemajuan murid dengan cara berangsur-angsur dan setingkat demi setingkat.” Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru dalam memberikan pelajaran dilakukan dengan cara berangsur-angsur, yaitu memperhatikan memperhatikan kemampuan pikirannya dan kesediaan menerima pelajaran untuk mencapai setingkat demi setingkat, dan dinaikkan ke tingkat berikutnya dengan penjelasan berikutnya.
Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa pandangan Al-Ghazali mengenai asas-asa metode mengajar tidak berbeda dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan dewasa ini, atau dengan kata lain Al-Ghazali telah meletakkan dasar-dasar dan pirnsip-prinsip metode mengajar pada hampir seribu tahun yang lampau, sedangkan kini sudah diperluas dan dikembangkan oleh para ahli pendidikan modern.[28]

6. Pandangan Al-Ghazali Tentang Pembelajaran
Al-Ghazali amat menekankan terhadap pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Ia juga menekankan bahwa para guru harus mangamalkan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Point lainnya yang berkenaan dengan pentingnya seorang guru agar menarik perhatian dalam mengembangkan dan mengajarkan pelajaran dengan cara bekerjasama dengan para siswa dengan  cara demikian, para guru telah memberikan fasilitas dan kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.[29]
Seorang pendidik diumpamakan seperti penanam, sementara anak didik sebagai orang yang mengambil manfaat diumpamakan seperti tanahnya, dan ilmu diumpamakan sebagai benih yang disemaikan. Pandangan Al-Ghazali tentang pembelajaran tidak secara spesifik diuraikan namun dari penjabaran dapat diuraikan :
a.       Menciptakan rasa aman, kasih sayang, dan lingkungan yang kondusif sehingga memungkinkan siswa belajar dengan nyaman. Dan hendaknya seorang guru memperlakukan siswa dengan kasih sayang sebagaimana ia menyayangi anaknya. Imam Al-Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin : Guru adalah orang tua yang sebenarnya karena orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita, mereka menyebabkan kehidupan didunia yang fana, sedangkan seorang guru memberikan Ilmu untuk mencapai kehidupan yang kekal.
b.      Pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi fisik dan tingkat pemahaman/keintelektualan siswa. Seorang guru harus memahami objek sasarannya, dan harus menggunakan bahasa dan perkataan yang mudah dimengerti oleh siswanya.
c.       Mengajar dengan contoh (keteladanan). Murid belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi mata mereka telah menangkap penampilan, sikap, dan segala tingkahlaku guru yang tampak.
d.      Mengajar dengan Metode peraktek. Hal ini berguna untuk menguatkan ingatan siswa dan menambah Ilmu yang lain. “lakukanlah apa yang sudah kamu ketahui untuk menyingkap tabir apa yang belum dan tidak kamu ketahui.”[30]
e.       Membimbing menasehati murid dari akhlak yang tercela. (hasud, iri, sombong, marah, rakus. Dan lainnya) haruslah dilakukan dengan cara yang halus, baik dengan sindiran atau kiasan, karena jika dilakukan dengan terang-terangan cara ini akan merendahkan harga diri siswa.[31]
f.       Mengajarkan ilmu dengan secara mendalam kemudian melakukan tafakkur. “sesorang tidak akan mampu mempelajari segala sesuatu yang makro dan mikro secara keseluruhan, tetapi cukup mempelajari satu hal dan kemudian ia kembangkan pengetahuan tersebut dengan bertafakkur.[32]
Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya.[33]
Dalam proses pembelajaran ini pun pemikiran al-Ghazali masih relevan bagi pendidikan saat ini. Seluruh komponen tersebut haruslah terpadu agar tercapai pembelajaran yang optimal.

D. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali meninggalkan banyak tulisan. Karya-karya tulis yang ditinggalkan beliau menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Pada seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasehat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad dan sewaktu mulai dalam masa skeptic (Al-Ghazali memulai mengarang sebagai seorang yang skeptis. Sikap skeptisnya itulah yang mendorongnya untuk mencari dan mencari ilmu, serta dengan ilmu beliau melakukan petualangan dari keraguan menuju keyakinan sebagaimana dilakukan banyak ilmuwan dari timur maupun barat. Lihat Abdul Ghani Abud, "Wahai Ananda" Wasiat al-Ghazali atas Pengaduan Seorang Muridnya),[34] di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan  yang mantap, beliau tetap aktif mengarang.
Al-Ghazali mulai mengarang saat berusia 20 tahun, ketika itu beliau masih berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini di Naisabur. Jika beliau meninggal dalam usia 55 tahun sesuai dengan kalender hijriyah, berarti beliau mengarang buku-bukunya selama 35 tahun. Jumlah bukunya mencapai 380 buah, baik yang kecil sampai yang besar seperti Ihya' Ulumuddin.[35] Beliau melakukan perjalanan selama 10 hingga 11 tahun dan menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis dan mengajar. Selain itu, Adapun dalam bukunya al-Ghazali yang berjudul misykaat al-Anwaar wa misshfaat al-Asraar disebutkan beberapa karangan al-Ghazali,  adalah sebagai berikut:
1.        Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf), sebagai karangannya  yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafat.
2.        Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu Beliau berada di Baghdad tatkala jiwanya dilanda keragu-raguan. Dalam buku ini, Al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
3.        Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu).
4.        Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi paduan antara fikih, tasawuf, dan filsafat.
5.        Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan), buku ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
6.        Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional).
7.        Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak), buku ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf.
8.        Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan).
9.        Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah).
10.     Ayyuha al-Walad.
11.     Al-Mustashfa.
12.     Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam.
13.     Mizan al-‘Amal.
14.     Mahakk al-Nazhar.[36]

Dalam berbagai macam leteratur disebutkn bahwa karya al-Ghazali mencapai ratusan buah akan tetapi penulis hanya dapat menelusuri beberapa buah karyanya yang dianggap sangat menonjol sebagai berikut:
Pertama Ihya’ Ulum al-Din. Kitab ini menurut Abu Bakar Ibnu Arabi, salah seorang muridnya disusun diawal masa ia melakukan uzlah (pengasingan diri). Disebutkan bahwa Abu Bakar bertemu dengan Al-Ghazali di madrasah al-Salam pada bulan Jumadil Akhir tahun 490 H. Al-Ghazali saat itu telah melakukan riyadhah (olah batin) ala tarekat sufinya sejak tahun 485H. Dan ia belajar kepadanya tentang kitab yang dinamakan Ihya’ Ulum al-Din.
Adapun faktor yang melatar belakangi disusunnya kitab tersebut menurut Abd. Al-Halim Mahmud berikut tujuan yang akan dicapainya serta subtansi isinya adalah keikhlasan. Konon disebutkan bahwa seorang sahabatnya meminta wasiat kepadanya menjelang wafatnya ia menjawab dengan kalimat “anda harus ikhlas”. Kalimat itu ia ulang-ulang sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bahkan menurut pengakuannya sendiri ia pernah melihat dirinya tidak ikhlas , cita-citanya semuanya dimaksudkan untuk mencari popularitas jabatan, status sosial dan mencari muka dihadapan pejabat lalu ia berontak dan menceburkan diri kedalam lautan ikhlas.
Lebih dari itu al-Ghazali melihat bahwa setan telah menguasahi kebanyakan masyarakat. Agama dalam pandangan ulama’nya apalagi yang lain hanya merupakan fatwa pemerintah atau perdebatan untuk menyerang dan mencari menang atau merupakan ungkapan-ungkapan yang indah yang dijadikan sarana para dai dan muballigh untuk menarik perhatian masyarakat. Pada sisi lain al-Ghazali ingin mengembangkan keikhlasan kedalam kalbu-kalbu masyarakat dan menjadikannya sebagai asas dan syiar sebagaimana yang telah dilakukan generasi awal Islam. Tidak syak lagi bahwa keikhlasan beragama kepada Allah swt, semata adalah tauhid dan tauhid adalah inti agama Islam. Karakteristik, tujuannya dan sasarannya. Semua ini faktor-faktor yang melatar belakangi disusunnya Ihya’ Ulum al-Din. Kitab Ihya’ Ulum al-Din ini terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah, bagian kedua muamalah, dan ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian penyelamat. Bagian pertama yakni bagian ibadah menjelaskan mengenai tatakrama beribadah. Sunah-sunahnya dan rahasia-rahasia yang dibutuhkan untuk diketahui mulai dari aspek aspek keikhlasan di dalamnya dan penempatan pada asas-asas yang dicintai Allah swt dan Rasulnya.
Pada bagian kedua yakni mu’amalah, dijelaskan rahasia-rahasia perdata yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat dan detail-detail semalunya serta pentingnya kewaraan didalamnya yang diperlukan orang yang taat menjalankan ajaran-ajaran agama. Sementara bagian ketiga, yaitu perusak membicarakan tentang akhlak tercela, penyebab-penyebabnya dan bahaya yang ditimbulkan serta menjelaskan cara-cara pengobatannya sehingga kalbu manusia bersih darinya. Pada bagian terakhir yaitu bagian penyelamat dijelaskan mengenai prilaku yang terpuji dan sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepadanya berikut mamfaat yang dapat diperoleh dari prilaku yang terpuji tersebut.
Samua bagian itu dimulai dengan menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dan atsar sahabat Nabi dan tabi’in serta hikayat-hikayat orang-orang sholeh sebagai pendukungnya ayat dan hadis yang dikemukakannya.
Kitab kedua adalah Tahafut al-Falasifah. Kitab ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa akal manusia semata dalam mencari hakikat dan usaha mencapainya adalah seperti serangga mencari sinar siang ia tertipu jika melihat cahaya ia melemparkan diri kedalamnya. Lalu kebingungan di dalamnya. Manusia keliru dan tertipu dengan ukuran logika yang tidak tepat, akibatnya binasa sebagaimana biasanya serangga tersebut. Jelasnya al-Ghazali ingin mengatakan bahwa para filusuf itu tertipu, dalam beberapa hal, mereka terlalu cepat menggapainya tampa berpikir panjang, lalu mereka kebingungan dan binasa selamanya.
Tujuan utama kitab ini tidak untuk merontokkan pandangan-pandangan para filusuf itu sendiri, sebab menurutnya sebagian dari pandangan itu adalah benar dan sesuai dengan ajaran agama seperti ilmu hitung/ matematika. ilmu ukur dan ilmu alam. Akan tetapi yang diinginkan adalah merontokkan rasionalismenya yang dikaitkan dengan ilmu agama yang melibatkan misalnya tidak percaya kepada kebangkitan jasmani di akhirat, mengingkari jasmani disorga dan menolak penderitaan jasmani di neraka.
Al-Ghazali ingin menetapkan bahwa akal manusia itu jika tidak mnjadikan wahyu sebagai pembimbing dan penuntun dalam kaitannya dengan metafisika tidak akan mampu utnuk mencapai pengetahuan yang benar, karena metafisika tidak dapat di observasi dan dilakukan eksprimen yang berdiri bukan wilayah akal, akan tetapi merupakan wilayah wahyu.
Kitab ketiga yang penting adalah al- Ijtishad fi al-I’tiqad. Kitab ini merupakan suatu karya kalam yang ditulis untuk mempertahankan akidah ahlusunnah secara rasional. Kitab ini membicarakan tentang keesaan Allah. Sifat-sifat dan perbuatan-perbuatannya, sekaligus mengakal beberapa pandangan mu’ tazilah. Kitab keempat adalah al-Risalah al-Qudsiyyah kitab ini menyajikan ilmu kalam berikut dalil dalilnya baik dari nash maupun dari akal secara ringkas dan tidak mendalam.

E.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumbangsi pemikiran dan karya Imam Al-Ghazali terhadap perkembangan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.    Dari segi pemikiran Imam Al-Ghazali telah memberika sumbangsi terhadap:
a.       Pendidikan dan tujuan pendidikan. Al-Ghazali telah banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
b.      Kurikulum, Al-Ghazali telah mengusulkan dan menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
c.       Pendidik, Al-Ghazali telah menggambarkan tugas dan syarat pendidik, pendidik yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki kompetensi dalam bidang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan akalnya, juga haruslah berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat. Maka, barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.
d.      Peserta didik, Al-Ghazali telah menetapkan sifat-sifat dan kode etik peserta didik yang berkewajiban melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Al-Ghazali, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu: Belajar dengan niat ibadah, mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi, bersikap tawadlu’ (rendah hati), menjaga pikiran, mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) baik untuk ukhrawi maupun duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah), belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu fardlu kifayah, belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, mengenal nilai-nilai ilmiah, memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu duniawi, mengenal nilai-nilai ilmu yang bermanfaat, peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
e.       Metode pendidikan, Al-Ghazali telah menetapkan metode yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Adapun beberapa metode pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah sebagai berikut: Metode keteladanan, metode pembiasaan, metode pergaulan yang baik, metode koreksi diri (metode pendidikan akhlak dengan melihat cacat dirinya sendiri kemudian merubahnya menjadi kebaikan), dan metode cerita atau kisah.
f.       Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode, dan media atau alat pengajarannya. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya

2.    Karya Imam Al-Ghazali, telah menjadi insfirasi dari tokoh Islam yang lain karena Imam Al-Ghazali telah memberikan konsep materi yang ditulisnya dalam empat klasifikasi kajian pokok. Dari masing-masing klasifikasi tersebut terdapat sepuluh entri pembahasan utama (kitab). secara global, isi keseluruhan kitabnya telah mencakup tiga sendi utama pengetahuan Islam, yakni syari`at, thariqat, dan haqiqat. imam ghazali juga telah mengkoneksikan ketiganya dengan praktis dan mudah ditangkap oleh nalar pembaca. Inilah beberapa alasan kenapa kitab Al-Ghazali khususnya Ihya’ Ulum Al-Din sangat digemari oleh banyak kalangan, oleh fukaha, Ihya’ Ulum Al-Din dijadikan sebagai rujukan standar dalam bidang fikih, dan  para sufi, kitab ini menjadi materi pokok yang tidak boleh ditinggalkan. Ihya’ Ulum al-Din ini terdiri empat bagian. Bagian pertama masalah ibadah, bagian kedua muamalah, dan ketiga perusak manusia serta bagian keempat bagian penyelamat.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI,  Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993.

Abdullah, M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Abdullah, M. Amin, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.

Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam,  Bandung: Angkasa Bandung, 2003.

Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: Mizan, 2003.

Al-Ghazali, Mutiara,  Bandung: Mizan, 2003.

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam,  Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam,  Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989.

Hanafi, A,  pengantar filsafat Islam,  Cet. 5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.

Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan,  cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998.

Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Mahdi Khan, Ali, Dasar-Dasar Filsafat Islam, Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), (Bandung: Nuansa, 2004.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,  Jakarta: Kencana, 2008.

Nafis, Muhammad Muntahibun, Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras, 2011.

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Cet. Ke-1; Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005.

Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Saloom, Gazi, dari kitab asli Al-Fikr Al-Tarbawi 'Inda Al-Ghazali Kama Yabdu Min Risalatihi Ayyuhal Walad,  Cet. I; Jakarta: Iiman, 2003.

Smith, Margareth, Al-Ghazali the Mistic diterjemahkan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali, (Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000.

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,  Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.



[1]Ahmad  Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), h. 97.

[2]A. Hanafi, pengantar filsafat Islam, (Cet. 5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991), h. 135.

[3]Margareth Smith, Al-Ghazali the Mistic diterjemahkan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali, ( Cet I. Jakarta Riova Cipta, 2000), h. 1.

[4]Al-Ghazali, Mutiara,  (Bandung: Mizan, 2003), h.

[5]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 82.

[6]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 28.

[7]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 87.
[8]Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan,  (cet I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1998, h. 56.
[9]Ibid,  h. 94.

[10]Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994),  h. 161-162.

[11]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 87.
[12]Ibid.

[13]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,  (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005), h. 83.

[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993), h. 862.

[15]Nisar, Op.Cit., h. 27.

[16]Abuddin Nata, Op.Cit., h. 86.
[17]Suwito, Op.Cit., h. 84.

[18]Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 6.

[19]Abuddin Nata, Op.Cit, h. 89-92.
[20]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 80-81.

[21]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 89-90.
[22]Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 35.
[23]Abudin Nata, Op.Cit, h. 96-99.

[24]Nizar, Op.Cit, h. 89.
[25]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 113-114.

[26]Syamsul Nizar, Op.Cit.,  h. 70.
[27]Al-Ghazali, Op.Cit, h. 10.
[28]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), h. 98.
[29]M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 29.

[30]Samsu Nizar, Op.Cit, h. 87.

[31]Zianuddin  Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa Bandung, 2003).

[32]Al-Ghazali, Op.Cit., h. 9.

[33]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Cet. Ke-1; Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005), h. 14.

[34]Gazi Saloom, dari kitab asli Al-Fikr Al-Tarbawi 'Inda Al-Ghazali Kama Yabdu Min Risalatihi Ayyuhal Walad, (Cet. I; Jakarta: Iiman, 2003), h. 43.

[35]Abdul Ghani Abud, Op.Cit., h. 42.
[36]Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam, (Pengantar Ke Gerbang Pemikiran), (Bandung: Nuansa, 2004), h. 135.

0 komentar:

Posting Komentar