FORMALISASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
(Studi
tentang Problematika dan Prospeknya dalam Sistem Pendidikan Nasional)
Muhammad
Suyuthy R.[1]
Abstrak
Jurnal
ini membahas secara analitis deskriptif tentang formalisasi pendidikan agama
Islam di Indonesia yang memfokuskan pada problematika dan prospeknya dalam
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu permasalahan yang mendasar, bahwa
formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional ternyata
tidak tunggal, tetapi terdapat faktor-faktor yang turut mempengaruhi
perwujudannya.
Hasil
dari permasalahan di atas menunjukkan bahwa formalisasi pendidikan agama Islam
dalam sistem pendidikan nasional, dihadapkan pada problema-problema, yaitu
problema kebijakan, problema politik, dan problema sistematik. Kendatipun
formalisasi pendidikan agama Islam dihadapkan pada problema-problema, tetapi
prospek perwujudannya mempunyai peluang yang besar karena didukung oleh pranata
pendidikan agama Islam, yaitu filosofis pendidikan agama Islam yang universal,
pranata sosiologis, pranata politik, dan pranata yuridis.
I.
Pendahuluan
Perjalanan
sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung dalam rentang waktu
yang cukup panjang, yaitu dimulai sejak masuknya Islam di nusantara pada abad
ke 7 Masehi. Potret sejarah pendidikan Islam dalam rentang waktu yang cukup
panjang, mengalami pasang surut perkembangannya. Pada awal perkembangannya
sebelum masa kolonialisme, pendidikan Islam mengalami perkembangan yang sangat
pesat, khususnya pada masa kerajaan Islam Demak di bawah pemerintahan Raden
Patah (1476 M).
Namun
demikian, vitalisasi perkembangan pendidikan Islam pada masa pemerintahan Raden
patah tidak berlangsung lama, karena ketika kekuasaan kolonialisme Belanda
secara umum pendidikan Islam mulai mengalami kemunduran di bawah hegemoni
kolonialisme. Penekanan pendidikan Islam oleh kolonialisme merupakan salah satu
agenda politiknya, sebagai upaya kea rah penguatan kekuasaannya di Indonesia.
Kolonialisme memandang bahwa untuk menguasai bangsa Indonesia yang mayoritas
menganut agama Islam, maka pendidikan Islam tidak boleh dibiarkan berkembang.
Pada gilirannya umat Islam sebagai masyarakat pribumi bangsa Indonesia
mengalami masa kegelapan karena ketertinggalannya pada bidang pendidikan.[2]
Sebagai
scenario politik pendidikan kolonial Belanda, pendidikan Islam mulai
dieliminasi agar tidak menunjukkan peran yang signifikan. Para guru agama atau
kiyai dikurangi perannya, yaitu hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (dalam
pengertian terbatas). Pada waktu yang bersamaan didirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum oleh kolonial Belanda dan menjadi wilayah guru-guru Belanda
atau guru-guru pribumi yang telah dikolonialisasikan. Dari sinilah awal
munculnya dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan
pribumi adalah pendidikan yang dilakukan oleh para kiyai atau guru agama, dan
khususnya mengajarkan agama Islam, sedangkan pendidikan umum adalah pendidikan
yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda sebagai pemerintah.[3]
Pencitraan
guru agama dan guru umum, tampaknya sengaja dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk melokalisasi peran pendidikan Islam, dan mengeliminasi kharisma
para kiyai atau guru agama. Dengan demikian, pengaruh para kiyai atau guru
agama terhadap masyarakat, secara berangsur-angsur mulai berkurang. Bahkan pada
akhirnya masyarakat meninggalkan para kiyai dan guru agama, sehingga agenda
kolonialisasi terhadap masyarakat dengan mudah dapat dilakukan.
Ketika
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, praktek pendidikan Islam
tidak mengalami perubahan secara signifikan. Bahkan pada awal kemerdekaan, sistem
pendidikan yang dianut sebagian besar masih mewarisi tradisi kolonialisme,
terutama pada sistem pembelajaran yang masih feodalistik. Hal ini dapat
dirasakan pada pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, ironisnya
pendidikan agama ditempatkan pada the second class, dan pendidikan umum
sebagai the first class yang selalu mendapat fasilitas yang memadai dari
pemerintah.
Kendatipun
demikian dalam perspektif historis pendidikan Islam mempunyai akar sejarah,
budaya, dan agama yang kuat di Indonesia. Oleh karena itu, berbicara tentenag
pendidikan Islam pada dasarnya berbicara tentang pendidikan nasional. Artinya,
membicarakan pendidikan nasional tanpa membicarakan pendidikan Islam merupakan
pengingkaran terhadap fakta sejarah, budaya, dan agama. Dengan demikian
keberadaan pendidikan Islam di Indonesia mempunyai landasan yang kuat dan
kokoh. Sedangkan dalam perspektif yuridis pendidikan Islam merupakan bagian
integral dari pendidikan nasional, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945,
Undang-Undang No. 2 tahun 1989, dan Undang-Undang Sisidiknas No. 20 tahun 2003.
Dalam
konteks tersebut, kendatipun formalisasi pendidikan agama Islam mempunyai eksistensi
yang kuat dalam tata hukum Indonesia, tetapi dalam kenyataannya senantiasa
konfiguratif dengan problema-problema krusial yang mengitarinya. Dikatakan
demikian karena kendatipun dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
telah ditegaskan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pendidikan agama (Islam)
dengan pendidikan lainnya, tetapi dalam kenyataannya masih ditemukan
kecenderungan-kecenderungan yang membedakan antara keduanya. Implikasinya
adalah formalisasi pendidikan Islam dalam bentuk madrasah masih mendapat
perlakuan yang diskriminatif.
Sekaitan
dengan hal tersebut, formalisasi pendidikan agama Islam yang secara spesifik
mengkaji tentang prospek dan problematikannya dipandang sangat penting. Dengan
demikian, masalah utama yang akan dikaji adalah bagaimana mewujudkan
formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional, dengan sub
masalah bagaimana problematika, strategi, dan prospek formalisasi pendidikan
agama Islam dalam sistem pendidikan nasional.
II.
Pendidikan Agama Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional
A.
Problematika
Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Salah
satu aspek penting dalam pembangunan manusia seutuhnya adalah pendidikan. Akan
tetapi, aspek pendidikan selama ini kurang tersentuh secara optimal. Padahal
pendidikan adalah basis atau dasar untuk menciptakan SDM dan pembentukan
karakter suatu bangsa. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan ruh
suatu bangsa, sehingga apabila pendidikan berhenti atau stagnan, maka suatu
bangsa akan mengalami kemunduran.
Pendidikan
di Indonesia cenderung dipandang sebagai proses pemenuhan kewajiban yang
cenderung bersifat proyek instan, sehingga yang terjadi hanya sekedar
pembentukan manusia yang siap kerja dan menjadi pegawai. Pendidikan hanya
disamakan dengan pengajaran; aspek pembentukan sikap, kepribadian, mental, dan
kreativitas jauh dari jangkauan Pendidikan. Hasil Pendidikan model ini, tidak
mengajarkan atau bahkan Kurang membentuk intelektualisme.
Mengingat
Pendidikan sebatas pengajaran, maka sebagaimana proses transfer of
knowledge, mengandaikan peserta didik sebagai obyek yang bisa dibentuk
sesuai kemauan dosen atau guru. Meminjam istilah Paulo Freire, peserta didik
menjadi manusia yang hanya memiliki kesadaran magis, menerima semua yang
diterima sebagai kebenaran mutlak, tanpa kesadaran kritis. Padahal, Pendidikan
sebenarnya pembentukan manusia sempurna yang melalui proses dialogis,
penghargaan kemanusiaan, dan saling menekankan kebebasan dan keadilan.[4]
Kelemahan
lain dalam dunia Pendidikan dewasa ini adalah kurangnya apresiasi terhadap
Pendidikan humaniora. Justru yang digalakkan dan dianggap prestisius selama ini
adalah Pendidikan alam dan teknik yang cenderung mekanistik. Akibatnya, para
peserta didik dan pendidik di Indonesia Kurang bisa menghubungkan aspek
normative suatu ilmu pengetahuan dengan kenyataan social yang terjadi
disekitarnya.[5]
Dengan
demikian, untuk memberikan jawaban terhadap problema tersebut, perlu mengubah
paradigm pendidikan yang menekankan aspek emansipatoris, transformasi sosial,
mengapresiasi humaniora, dan pembentukan kesadaran pada peserta didik. Jika itu
bisa dilakukan, pendidikan akan efektif menjadi soko guru penegakan supermasi
ilmu pengetahuan dan intelektualisme.
Pada
tataran sistem pendidikan, demokratisasi atau debirokratisasi pendidikan adalah
paradigma sistem pendidikan yang dipandang sebagai sistem pendidikan yang
berorientasi masa depan. Dikatakan demikian karena realitas sistematisasi
pendidikan cenderung memaksakan kebijakan kepada para praktisi pendidikan,
yakni guru, siswa, kepala sekolah, dan masyarakat konsumen pendidikan, terutama
di daerah-daerah.
Di
antara kebijakan sistem birokratisasi pendidikan yang merugikan adalah
penyeragaman kurikulum, guru sentris, tertutupnya ruang demokratisasi
pembelajaran dalam kelas, dan sebagainya. Implikasinya pendidikan mengalami
degradasi mutu, stagnasi peran dan fungsi. Juga ketidakberdayaannya dalam
mengentaskan berbagai persoalan bangsa, yang sejatinya bagian dari tugas
pendidikan. Bahkan pendidikan dewasa ini tidak mampu menghasilkan sumber daya
manusia (SDM) berkualitas, yang mampu menghadapi tantangan globalisasi dewasa
ini dan masa mendatang.[6]
Dengan
demikian, demokratisasi pendidikan dikedepankan dalam usaha mengatasi
permasalahan pendidikan tersebut. Sementara itu, sampai saat ini, Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) masih saja mencari format ideal bagi
demokratisasi pendidikan yang akan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional.
Kaitannya
dengan hal tersebut, terdapat dua model demokratisasi pendidikan, yaitu: pertama,
model demokratisasi dalam bingkai manajemen pendidikan yang disebut dengan
model demokratisasi tingkat kebijakan. Kedua, model demokratisasi dalam
bingkai proses pembelajaran yang disebut dengan model demokratisasi tingkat
praksis.
Model
demokratisasi pertama merupakan bentuk penolakan terhadap kebijakan sistem
birokrasi yang pada praktiknya sangat membebani warga belajar, baik peserta
didik, guru, maupun pengelola pendidikan, lebih-lebih masyarakat konsumen
pendidikan diberbagai daerah.
Sistem
birokrasi juga telah menyebabkan amburadulnya manajemen dan administrasi
pendidikan. Kebocoran dana pendidikan, ujian catur wulan, dan ujian akhir
Negara, pungutan liar terhadap para calon pegawai negeri sipil (PNS), para guru
yang (akan) naik pangkatnya, dan lain-lain merupakan hal lumrah yang disikapi
dengan biasa-biasa oleh para pengambil kebijakan pendidikan. Para pelanggarnya
pun tidak dikenakan sanksi apa-apa. Hal inilah yang kemudian memberikan citra
buruk bahwa dunia pendidikan sebagai sarang kriminalitas. Pada
gilirannya berdampak terhadap kekaburan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Dalam
perspektif kebijakan, pendidikan nasional pada umumnya dan pendidikan Islam
pada khususnya, kebijakan yang ditetapkan hanya bertengger di atas
keputusan-keputusan makro, dan hampir-hampir tidak terlaksana di tingkat mikro,
yakni lembaga pendidikan. Tampaknya problema tersebut, juga menjadi
problematika dalam pendidikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
sistem pendidikan nasional.
Problematika
pendidikan, juga dirasakan pada tataran politis. Kendatipun politik pendidikan
nasional[7]
dipandang sebagai salah satu aspek yang mendapat perhatian yang besar dalam
peta politik nasional, tetapi tampaknya politik pendidikan nasional belum
berjalan secara maksimal. Implikasinya adalah maksimalisasi pelaksanaan
pendidikan belum berlangsung sesuai dengan idealisasi sistem pendidikan.
Dikatakan demikian, karena dalam sejarah perpolitikan bangsa Indonesia, masalah
pendidikan tidak pernah berhenti dibicarakan, bahkan pendidikan merupakan
jualan (baca; komoditi) politik yang paling laku akhir-akhir ini.
Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, politik merupakan suatu pranata pendidikan untuk
mewujudkan perikehidupan yang berperadaban, berkeadilan, dan berkemakmuran. Hal
ini merupakan cita-cita luhur bagi bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, sistem politik mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pembinaan sistem pendidikan. Bahkan tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa politik merupakan salah satu dari dimensi
pendidikan itu sendiri yang menentukan suatu sistem pendidikan.
Perubahan
yang drastic pada sistem politik Indonesia terjadi pada tahun 1998 yang
ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru. Tuntutan perubahan (baca; reformasi)
terjadi pada semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam
sistem pendidikan nasional. Tuntutan reformasi di bidang pendidikan dipenuhi
oleh lembaga politik Negara (DPR dan Pemerintah) dengan disahkannya
Undang-Undang Sisdiknas pada tanggal 11 Juni 2003.[8]
Lahirnya
Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan oleh DPR-RI tanggal 11 Juni 2003,
memberikan perubahan mendasar mengenai jalur pendidikan. Perubahan sistem
pendidikan (dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi) tersebut
disebabkan oleh karena perubahan sistem politik Indonesia. Dengan demikian,
politik pendidikan nasional mengalami perubahan seiring dengan perubahan sistem
politik.
Kaitannya dengan hal tersebut, pendidikan Islam sebagai
rangkaian upaya yang terencana dan sistematis dalam memformalisasikan
nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan, masih dihadapkan pada problema
politik. Dikatakan demikian karena samapai sekarang masih terdapat anggapan
dari tokoh-tokoh nasionalis sekuler bahwa pendidikan Islam adalah rangkaian
gerakan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Oleh karena itu, setiap usaha
kea rah optimalisasi pendidikan Islam tidak pernah steril dari
hambatan-hambatan secara politis.
Mencermati
politik pendidikan Islam di Indonesia, mengalami pasang surut dalam perjalan
sejarahnya. Namun demikian, dalam perkembangan terakhir, menunjukkan adanya
kemajuan, setidak-tidaknya jika dilihat dari indicator kuantitatif. Formalisasi
pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum misalnya berlangsung minimal 2
jam pelajaran perminggu. Banyak sekolah bahkan menambah pelajaran pendidikan
agama Islam bagi peserta didiknya, baik melalui penambahan jam pelajaran di
kelas, maupun melalui kegiatan ekstar kurikuler. Pendidikan agama Islam di
sekolah-sekolah juga disemarakkan oleh paket-paket pengajaran khusus, seperti
paket pesantren kilat.[9]
Kendatipun
Undang-undang Sisdiknas telah memberikan keseimbangan dan legitimasi yuridis
bagi pendidikan agama Islam, akan tetapi hal itu hanya pada tataran makro,
sedangkan secara mikro belum menyentuh idealisasi pendidikan Islam. Hal ini
selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan agama Islam, juga tercermin
dari kurikulum di mana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi dan sebagainya, masih kental dengan intervensi
negara. Intervensi Negara terhadap pendidikan agama Islam, disatu sisi sangat
menguntungkan, akan tetapi disisi lain intervensi Negara yang terlalu jauh
justru merugikan pendidikan agama Islam.[10]
Dalam
memenuhi tuntutan-tuntutan penyempurnaan pelaksanaan pendidikan agama Islam,
maka demokratisasi atau desentralisasi pelaksanaan pendidikan Islam dipandang
sebagai sesuatu yang solutif. Akan tetapi pada tingkat operasionalisasi,
demokratisasi, dan desentralisasi belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan
oleh karena disatu pihak pemerintah belum seratus persen mengikhlaskan
desentralisasi pendidikan. Ini tercermin pada standarisasi kompetensi yang
tidak realistis melihat kondisi daerah. Sedangkan dipihak lain pelaksanaan
pendidikan di daerah belum siap menerima dan memenuhi tuntutan dan idealisasi
dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan (agama Islam) dengan berbagai
keterbatasan dan kelemahan.
Secara
eksistensial, pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional, tidak
dipermasalahkan. Dalam pasal 36 dan 37 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, secara tegas mewajibkan pendidikan agama (Islam)
untuk dimasukkan sebagai kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Selanjutnya
dalam penjelasan Undang-Undang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pada diktum ini yang
dimaksudkan dengan beriman dan bertakwa adalah sesuai dengan agama peserta didik.
Oleh karena itu, arah pendidikan agama pada setiap jenjang pendidikan memiliki
pola konfesional.[11]
Dengan
demikian, pendidikan agama Islam dengan pola komfensionalisme, maka idealnya
pendekatan yang digunakan adalah berbeda dengan pendekatan akademisi murni dan
disisi lain tidak terlalu bersifat dogmatis-teologis. Dalam hal ini, terdapat
problema yang urgentif untuk memikirkan pendekatan alternatif, yaitu pendekatan
yang dapat menjembatani pendekatan teologis[12]
(konfensional) dan pendekatan akademisi murni.[13]
Problemanya kemudian adalah untuk merumuskan pendekatan alternatif antara
dogmatis teologis dan akademisi murni, perlu dibarengi dengan ketentuan dan
kebijakan.
B. Strategi Formalisasi Pendidikan Agama Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam
konstitusi diatur bahwa Negara memiliki kewenangan untuk membuat kebijaksanaan.
Dalam konteks ini, ruang lingkup kewenangan tersebut mencakup kebijaksanaan
agama, pendidikan, dan politik. Dalam hal ini, pendidikan agama dipahami
sebagai sub sistem kebijaksanaan pendidikan[14]
yang berada di antara kebijaksanaan agama dan kebijaksanaan politik. Dalam
arti, pendidikan agama berperan sebagai pelayan agama dengan memanfaatkan
teori-teori pendidikan. Oleh karena itu, demi eksistensinya di suatu Negara,
pendidikan agama memerlukan dukungan kebijaksanaan agama, kebijaksanaan
pendidikan, dan kebijaksanaan politik dari Negara. Rumusan kebijaksanaan agama
tersebut dituangkan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), seperti
GBHN tahun 1999-2004.[15]
Arah
kebijakan agama dalam GBHN menegaskan posisi sentral agama dalam fungsi, peran
dan kedudukannya sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam
penyelenggaraan Negara. Implikasinya adalah segala peraturan perundang-undangan
yang disusun Negara, seharusnya tidak bertentangan dengan moral agama.
Intergralisasi pendidikan agama (Islam) melalui kebijakan Negara, dapat
dipandang sebagai bentuk dari strategi formalisasi pendidikan agama Islam dalam
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, jika formalisasi adalah
integralisasi, maka formalisasi pendidikan agama Islam mencakup beberapa aspek,
yaitu:
1. Pembaruan sistem pendidikan
termasuk di dalamnya pembaruan kurikulum.
2.
Pemberdayaan
sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan.
3. Pembaruan dan pemantapan sistem
pendidikan nasional yang didasarkan atas prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan dan manajemen.[16]
Dalam
konteks pembaruan sistem pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan
nasional, harus didukung kebijakan politik. Ini berarti bahwa peran Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya, sangat menentukan perwujudan formalisasi
pendidikan agama Islam. Dikatakan demikian karena pendidikan agama Islam
sebagai bagian integral pendidikan nasional, sangat konfiguratif dengan
kebijakan-kebijakan politik negara. Bahkan dapat dikatakan bahwa struktur
(konfigurasi) politik dipandang sebagai salah satu pranata yang turut andil
dalam pengembangan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Dalam
konteks tersebut, sebagai upaya formalisasi pendidikan agama Islam dalam system
pendidikan nasional, mempunyai landasan yuridis dalam konstitusi Negara. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa pasal berikut:
1. Pasal 1 ayat 2 disebutkan; pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan
Islam, merupakan warisan budaya bangsa yang berurat akar pada masyarakat bangsa
Indonesia. Kalau begitu jelaslah bahwa pendidikan Islam akan merupakan bagian
integral dari sistem pendidikan nasional.
2. Pasal 4 tentang tujuan pendidikan nasional,
yaitu; pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan bangsa Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[17]
3. Pada pasal 10 dinyatakan bahwa pendidikan
keluarga adalah merupakan bagian dari jalur luar pendidikan sekolah yang
diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai
budaya, nilai moral dan keterampilan.
4. Pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa jenis
pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan
agama,[18]
pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
5. pada pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa isi
kurikulum setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan wajib memuat
pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan. Dalam
hal ini dijelaskan bahwa pendidikan agama, tentunya termasuk pendidikan agama
Islam merupakan bagian dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional. Dengan
demikian, pendidikan agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional.
6. Pasal 47, terutama ayat 2 dinayatakan bahwa
cirri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap
diindahkan. Dengan pasal ini, satuan-satuan pendidikan Islam baik yang berada
dijalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah akan tetap tumbuh dan berkembang
secara terarah dan terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Sehubungan dengan
satuan pendidikan yang berciri khas ini, pada PP nomor 28 tahun 1990, tentang
pendidikan dasar, pasal 4 ayat 3 menegaskan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas
agama Islam, yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama, masing-masing disebut
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan demikian,
madrasah diakui sama dengan sekolah umum dan merupakan satuan pendidikan yang
terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.[19]
Formalisasi
pendidikan agama Islam memerlukan tiga pilar kebijakan, yaitu: pertama, kebijakan
agama sebagai penegak eksistensi dogmatic dalam pendidikan agama. Kedua, kebijakan
pendidikan diperlukan sebagai penegak eksistensi structural. Ketiga, kebijakan
politik diperlukan sebagai peletak dan penegak dasar yuridis. Oleh karena itu,
strategis formalisasi pendidikan agama Islam dalam system pendidikan nasional
hendaknya didudukkan di antara ketiga pilar kebijakan tersebut. Pada gilirannya
akan ditemukan langkah-langkah atau isu-isu strategis kea rah formalisasi
pendidikan agama Islam di Indonesia.[20]
Dengan
demikian, formalisasi pendidikan agama Islam sebagai upaya pengembangan dan
maksimalisasi pelaksanaan pendidikan Islam, membutuhkan langkah-langkah
strategis, antara lain:
1. Diperlukan reorientasi pendidikan agama Islam
dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi. Konsekuensinya adalah menuntut
transformasi materi ilmu-ilmu alam, eksakta dan teknologi sesuai visi Islam
dalam kurikulum pendidikan agama Islam konvensional, baik di sekolah-sekolah
pemula atau perguruan tinggi dengan menghilangkan dikotomi ilmu.
2. Perlu adanya dukungan politis secara maksimal
dari umat Islam melalui kebijakan-kebijakan atau peraturan perundang-undangan.
Hal penting karena dukungan politis pada hakekatnya merupakan motor utama
menuju formalisasi pendidikan agama Islam.
3. Perlu adanya kerjasama regional, nasional, dan
internasional di antara kaum muslimin, baik instansi pemerintah atau
non-pemerintah. Ini berarti member kesempatan semua kalangan, pemerintah dan
sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan pendidikan agama Islam.
4. Perlu adanya political wil dari
elit-elit umat Islam untuk terus memperjuangkan formalisasi pendidikan agama
Islam dalam sistem pendidikan nasional, sehingga optimalisasi pelaksanaan dan
pengembangan pendidikan Islam dapat terealisir.
Kaitannya
dengan hal tersebut, terdapat dua faktor yang mempengaruhi formalisasi
pendidikan agama Islam, yaitu; pertama, kebijakan makro yang dipandang
sebagai kebijakan strategis di luar pendidikan, akan tetapi erat hubungannya
dengan strategi formalisasi pendidikan agama Islam. Kebijakan makro yang
dimaksud meliputi, antara lai: sosial, ekonomi, politik, budaya, dan strategi
pembangunan nasional. Kedua, kebijakan mikro adalah kebijakan yang
langsung berkaitan dengan strategi formalisasi pendidikan agama Islam. Oleh
karena kebijakan mikro meliputi antara lain; dasar dan eksistensi pendidikan
agama Islam, teknis formalisasi pendidikan agama Islam, fasilitas,
lembaga-lembaga pendidikan, kurikulum, perundang-undangan dan pembaruan
pendidikan.
Seiring
dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, telah mempengaruhi pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan. Kebijakan
otonomi daerah dengan desentralisasi pendidikan memberikan peluang untuk
melakukan inovasi dan improvisasi pendidikan agama Islam. Dengan demikian,
otonomi daerah juga dipandang sebagai strategi bagi formalisasi pendidikan
agama Islam berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, dan manajerial
yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas dan profesionalisme yang dimiliki
pendidikan Islam. Pemberian otonomi luas kepada daerah dalam pengelolaan
pendidikan, memberikan ruang yang legitimatif untuk melakukan formalisasi
pendidikan agama Islam di tingkat daerah.
Namun
demikian, formalisasi pendidikan agama Islam di tingkat daerah menurut
pendekatan manajemen yang lebih kondusif agar dapat mengakomodasikan seluruh
keinginan sekaligus memberdayakan sebagai komponen masyarak secara efektif,
guna mendukung kemajuan dan sistem pendidikan nasisonal. Oleh karena itu,
strategi formalisasi pendidikan agama Islam hendaknya diarahkan kepada
pengembangan silabus pendidikan agama Islam yang integralistik dengan kebutuhan
pendidikan nasional.
C. Prospek Formalisasi Pendidikan Agama Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan agama Islam di
Indonesia mempunyai latar belakang historis yang kuat dan mengakar pada
masyarakat. Oleh karena itu, membicarakan pendidikan Islam Indonesia, berate
membicarakan pendidikan bangsa Indonesia. Dengan mendasarkan pada latar
belakang historis pendidikan Islam telah menawarkan seperangkat teori
pendidikan tersendiri sebagai identitasnya. Teori-teori pengembangan pendidikan
Islam yang berbasis cultural menyebabkannya sangat mengakar di tengah-tengah
masyarakat. Namun dalam perkembangannya, sejak bangsa Indonesia merdeka, system
pendidikan agama Islam mengalami pergumulan system pendidikan nasional.
Dalam konteks inilah, maka wacana
formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional menemukan
titik signifikansinya. Artinya bahwa formalisasi pendidikan agama Islam
dipandang sebagai upaya untuk memaksimalkan pelaksanaan pendidikan Islam
melalui jalur formal. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pendidikan Islam
merupakan basis pendidikan pendidikan di Indonesia dan telah berperan dalam
mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka. Oleh karena itu, pendidikan agama
Islam harus ditegaskan eksistensinya dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia.
Mengacu pada latar belakang
sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka idealnya pendidikan Islam menjadi
basis dan inspirator dalam merumuskan sistem pendidikan nasional. Jika demikian
adanya, maka pendidkan agama Islam bukan lagi bagian atau sub system dari
system pendidikan nasional, akan tetapi pendidikan (agama) Islam adalah
pendidikan nasional sendiri. Oleh karena dalam kenyataannya pendidikan (agama)
Islam ditempatkan sebagai sub sistem dan bagian dari sistem pendidikan
nasional, maka pendidikan Islam menjadi terasing dan senantiasa mengalami
pergumulan dalam menegaskan eksistensinya.
Dengan demikian, hubungan ideal
antara pendidikan (agama) Islam dan pendidikan nasional adalah keduanya harus ditempatkan
secara komplementer dan integratif.[21]
Idealisasi pola hubungan antara kedua sistem pendidkan ini akan menjamin
keterpaduan dalam merealisasikan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan
strategi yang mutualistik (baca; saling menguntungkan) bagi pengembangan kedua
sistem pendidikan tersebut.[22]
Dalam hal ini, diyakini bahwa integrasi pendidikan (agama) Islam ke dalam
sistem pendidikan nasional, disatu pihak akan memberikan ruang gerak yang luas
dan kesetaraan eksistensi secara yuridis dan sistemik. Dipihak lain,
meniscayakan terciptanya sistem pendidikan nasional yang paripurna.
Kaitannya dengan hal tersebut,
formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional, dilakukan
melalui dua jalur pokok, yaitu:
1. Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dengan
tujuan untuk mencetak ahli-ahli agama. Oleh karena itu, formalisasi pendidikan
agama Islam dilakukan melalui institusionalisasi pendidikan Islam. Dalam hal
ini, pendidikan agama Islam dilaksnakan pada lembaga-lembaga pendidikan formal
yang didirikan oleh Negara atau pemerintah.
2. Penyelenggaraan pendidikan agama Islam dengan
tujuan memenuhi kewajiban setiap muslim untuk mengetahui dasar-dasar agamanya.
Dalam hal ini, pendidikan agama Islam dilaksanakan atau diajarkan pada lembaga-lembaga
pendidikan umum yang dijabarkan dalam kurikulum pendidikan agama Islam.[23]
Formalisasi
pendidikan agama Islam dalam system pendidikan nasional, mempunyai prospektif
yang cerah. Dikatakan demikian karena pendidikan agama Islam berbasis pada
ajaran Islam yang bersifat iniversal. Universalitas ajaran Islam berarti
senantiasa sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak terbatas pada ruang dan
waktu. Ini berarti bahwa dasar dan orientasi filosofik pendidikan agama Islam,
lintas zaman, lintas budaya, dan lintas wilayah. Dengan demikian, formalisasi
pendidikan agama Islam dipandang sangat prospektif untuk mewujudkan dalam semua
sistem pendidikan, termasuk dalam sistem pendidikan Indonesia.
Prospek
formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional, dapat
dilihat dari beberapa aspek, antara lain: pertama, dari sudut pandang
sosiologis pendidikan agama Islam mempunyai akar sosiologi yang kuat ditengah
masyarakat Islam Indonesia. Oleh karena itu, akar sosiologi terbentuk dan
berkembangnya pendidikan agama Islam di Indonesia merupakan potensi besar bagi
setiap upaya pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Realitas sejarah
menunjukkan bahwa akar kekuatan pendidikan agama Islam di Indonesia bukan hanya
terletak pada jaringan sistem pengorganisasian, akan tetapi tertanam kokoh pada
jaringan masyarakat muslim yang independen dan otonom.[24]
Dengan
demikian, pendidikan agama Islam bukan hanya eksis dalam lembaga pendidikan
sebagai salah satu lembaga pendidikan nasional yang tak terpisahkan, akan
tetapi ia juga berakar kuat di tengah masyarakat muslim Indonesia yang memiliki
keterkaitan dogma idiologis. Atas dasar inilah sehingga dikatakan bahwa akar
sosiologis yang mengakar menjadi potensi bagi perwujudan formalisasi pendidikan
agama Islam. Implikasi dari ikatan-ikatan sosiologis menjadikan pendidikan
agama Islam dalam proses interaksinya mudah dan dapat diterima.
Kedua,
dari sudut
pandang yuridis, pendidikan agama Islam mempunyai kekuatan hukum yang kuat
dalam konstitusi Negara. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang
dijabarkan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah
memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Dari
hubungan-hubungan tersebut akan tampak jelas bahwa konsep manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harus merujuk pada sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Merujuk pada konsep tersebut berarti setiap warga Negara yang
beragama Islam memiliki kemerdekaan (hak) untuk memeluk dan melaksanakan ajarannya
sebagai bentuk ibadah. Oleh karena itu, sesuai dengan pengertian tersebut, maka
pendidikan agama (Islam) merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut
berusaha mencapai tujuan nasional. Itu artinya bahwa pendidikan agama Islam
merupakan suatu keseluruhan dalam sistem pendidikan nasional.
Kaitannya
dengan prospek formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan
nasional, maka dapat dilihat melalui empat pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan agama Islam sebagai komponen
pendidikan dasar yang mampu mengembangkan sikap agamis dan kemampuan untuk
mengetahui hokum syariat, terutama untuk hal yang bersifat asasi serta terampil
melaksanakan ibadah, khususnya ibadah mahdah. Di samping itu, mampu
melakanakan ajaran agama yang ada hubungannya dengan kepentingan hidup dalam
masyarakat.[25]
2. Pendidikan agama Islam sebagai komponen
menengah merupakan pengembangan pengetahuan agama yang mendasar dalam
hubungannya dengan masalah kehidupan, kemasyarakatan, dan kebudayaan (kultur)
serta penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan sumber alam untuk kelestarian
alam itu sendiri serta menjadi sarana kehidupan umat manusia. Dengan istilah
lain bahwa pendidikan Islam harus mampu mengajarkan hubungan ibadah mahdah dengan
ibadah muamalah secara umum dalam bentuk paraktis-aplikatif.[26]
3. Pendidikan agama Islam sebagai komponen
pendidikan tinggi di Indonesia menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik secara profesional. Dalam artian
bahwa peserta didik dapat menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Itu artinya bahwa pendidikan agama Islam memandang
sumber, struktur, metodologi ilmu pengetahuan dan teknologi menurut perspektif
nilai-nilai, hakekat dan wawasan Islam.[27]
4. Pendidikan agama Islam pada semua jenjang
dipandang sebagai satu kesatuan sistimatik dengan sistem pendidikan nasional,
tidak bertentangan dan sesuai dengan substansi pendidikan nasional. Dalam
artian bahwa pendidikan agama Islam merupakan penjabaran dari amanah konstitusi
dalam bidang pendidikan.
Ketiga,
dari sudut
pandang politik, formalisasi pendidikan agama Islam pada dasarnya mengandung
pengertian sebagai rangkaian upaya yang terencana dan sistematis dalam
mengtransformasi dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam sistem pendidikan
agar dapat membentuk kepribadian muslim seutuhnya. Dengan demikian, pendidikan
agama Islam dapat memberikan kontribusi positif yang berakar pada nilai-nilai
ajaran Islam terhadap peserta didik. Pada gilirannya dapat memberikan
sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa, Negara, dan agama. Oleh karena tujuan
pendidikan agama Islam identik dengan tujuan Negara, maka secara politis
prospek formalisasi pendidikan agama Islam mempunyai legitimasi politik yang
kuat, sehingga sangat prospektif.
Tumbuh
dan berkembangnya demokrasi politik di masa sekarang ini, telah membangkitkan
kembali gairah umat Islam Indonesia untuk secara maksimal memperjuangkan
kepentingan umat Islam. Muncul partai-partai Islam dan partai-partai nasionalis
yang berbasis Islam, dipandang sebagai potensi yang sangat prospektif bagi
perwujudan formalisasi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional.
Lahirnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
di samping dipandang sebagai legitimasi yuridis bagi formalisasi pendidikan
agama, juga dipandang sebagai prestasi politik umat Islam dalam
memformalisasikan pendidikan agama dalam system pendidikan nasional.
Dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, prospek
formalisasi pendidikan agama Islam menemuka vitalitasnya. Hal ini dapat dilihat
pada pasal 30 dengan terdapat diktum yang mengakui pelaksanaan pendidikan agama
Islam melalui jalur formal. Demikian pula pada pasal 36 tentang pengaturan
kurikulum, menekankan perlunya pendidikan agama (Islam) pada setiap jenjang
pendidikan. Dengan demikian, ditetapkannya pendidikan agama (Islam) sebagai
kurikulum pada setiap jenjang pendidikan merupakan wujud dari formalisasi
pendidikan agama Islam.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Problematika formalisasi pendidikan agama
Islam dalam sistem pendidikan nasional, meliputi problem kebijakan dan politik.
Pada tingkat kebijakan, pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama Islam pada
khususnya, masih bertengger di atas keputusan-keputusan makro, dan
hampir-hampir tidak terlaksana di tingkat mikro, yakni lembaga pendidikan.
Sedangkan problema politik tampak pada system politik yang belum sepenuhnya
memberikan ruang gerak yang maksimal bagi formalisasi pendidikan agama Islam.
Hal ini disebabkan karena masih adanya kecurigaan bahwa formalisasi pendidikan
agama Islam adalah rangkaian sistemik pendirian Negara Islam Indonesia.
2. Strategi formalisasi pendidikan agama Islam
dalam sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pengembanagan silabus
pendidikan agama Islam yang integralistik dengan kebutuhan pendidikan nasional.
Sedangkan pada tataran praktis strategi formalisasi pendidikan agama Islam juga
dapat dilakukan melalui jalur structural dengan menfungsikan secara maksimal
pranata-pranata politik pendidikan agama Islam.
3. Prspek formalisasi pendidikan agama Islam
dalam sistem pendidikan nasional mempunyai peluang yang besar untuk diwujudkan.
Paling tidak dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: pertama, dari
sudut pandang sosiologis pendidkan agama Islam mempunyai akar sosiologis yang
mengakar pada masyarakat. Kedua, dari sudut pandang yuridis pendidikan
agama Islam mempunyai legitimasi yang kuat dalam konstitusi Negara dan dalam
system pendidikan nasional. Ketiga, dari sudut pandang politik
pendidikan agama Islam didukung pranata-pranata politik yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Historisitas atau Normativitas, Cet.
I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Departemen Agama RI., Memahami Paradigma Baru Pendidikan
Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas, Cet. I; Jakarta: Dirjen Bagais
Depag, 2003
Effendi, Yusuf Slamet, dkk., Dinamika Kaum Santri: Menelusuri
Jejak dan Pergolakan Internal NU, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1983
Feisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I;
Jakarta: Gema Insan Press, 1995
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II;
Jakarta: Grafindo Persada, 1996
Imran, Ali, Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses dan
Masa Depannya, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Miftahuddin, Politik Pendidikan Islam Hindia Belanda: Melacak
Akar-akar Dikotomi Pendidikan Umum Vs Agama di Indonesia, dalam Jurnal
Attarbiyah: Kajian Agama Budaya Kependidikan No. 1 Th. XV/Januari-Juni 2004,
Jurusan Tarbiyah & P3M STAIN Salatiga
Mudjib, Abdul, Strategi Pendidikan Islam di Era Reformasi, dalam
Jurnal Attarbiyah: Kajian Agama, Budaya, dan Kependidikan, Nomor 1. Th. XIII
Januari-Juni 2002
Rahim, Husni, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, Cet.
I; Jakarta: Logos, 2001
Saerozi M., Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme:
Telaah Historis Atas Kebijakan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia, Cet.
I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yoga, 2004
Steenbrink A., Karel, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
pada Abad Ke 19, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Sultan Muslihin, Idialisasi Pendidikan Islam: Antara Formalisme
dan Kulturalisme, Makalah, Disampaikan pada Seminar Pendidikan oleh Ikatan Alumni
PMH, di Pesantren Modern Biru, tanggal 7 April 2006, di Watampone
Undang-Undang
Sisdiknas Tim Redaksi BP. Cipta Jaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: BP. Cipta Jaya,
2003
[1]
Dosen STAI Al-Gazali Bone
[2]
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia pada Abad Ke
19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 159
[3]
Miftahuddin, Politik Pendidikan Islam Hindia Belanda: Melacak Akar-akar
Dikotomi Pendidikan Umum Vs Agama di Indonesia, dalam Jurnal Attarbiyah:
Kajian Agama Budaya Kependidikan No. 1 Th. XV/Januari-Juni 2004, Jurusan
Tarbiyah & P3M STAIN Salatiga, h. 3
[5]
Seabagai perbandingan bahwa dalam pendidikan Barat, ilmu humaniora memiliki
kedudukan sejajar dengan ilmu lama atau ilmu teknologi lainnya. Pendidikan
humaniora adalah pendidikan yang menekankan pada realitas social, kepedulian sosial,
pembentukan kesadaran, serta perjuangan kemanusiaan dan keadilan
[6]
Kenyataan ini dapat dilihat dari SDM bangsa Indonesia berada di urutan bawah di
ASEAN setelah Fhilipina
[7]
Politik pendidikan nasional berpangkal dari suatu keinginan untuk melaksanakan
pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemberian pendidikan secara merata
bagi warga Negara adalah amanah UUD 1945. Oleh karena itu, negara Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, secara politis wajib melaksanakan
pendidikan bagi seluruh warga Negara tanpa pandang bulu. Itu artinya bahwa
pengabaian Negara terhadap pendidikan merupakan dosa politik yang tidak dapat
ditolerir, karena merupakan penghianatan terhadap amanah konstitusi.
[8]
Departemen Agama RI., Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam
Undang-undang Sisdiknas, (Cet. I; Jakarta: Dirjen Bagais Depag, 2003), h. 1
[9]
Husni Rahim, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta:
Logos, 2001), h. 11
[10]
Muslihin Sultan, Idialisasi Pendidikan Islam: Antara Formalisme dan
Kulturalisme, Makalah, Disampaikan pada Seminar Pendidikan oleh Ikatan
Alumni PMH, di Pesantren Modern Biru, tanggal 7 April 2006, di Watampone, h. 5
[11] M.
Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis Atas
Kebijakan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia, (Cet. I; Yogyakarta:
Tiara Wacana Yoga, 2004), h. 29
[12]
Pendekatan teologis adalah pendekatan bersifat teologis-doktrinal yang
mempunyai struktur dasar sebagai cirri umum, yaitu: a) adanya kecenderungan
untuk mengutamakan loyalitas yang sangat kuat kepada kelompok sendiri, b)
adanya keterlibatan pribadi dan penghayatan yang sangat kental pada
ajaran-ajaran teologi yang diyakini kebenarannya, dan c) adanya ungkapan
perasaan dan pemikiran yang menggunakan bahasa actor, dan bukan bahasa seorang
pengamat. Lihat, M. Amin Abdullah, Studi Agama Historisitas atau Normativitas,
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 14 dan 49
[13]
Pendekatan akademisi murni adalah menempatkan proses pendidikan agama (Islam)
pada orientasi obyektif. Istilah obyektif diinterpretasikan sebagai bebas dari
reaksi-reaksi emosional. Oleh karena itu, menurut Phenix bahwa obyektifitas
dimaknai sebagai suatu bentuk intersubjektivitas yang terkontrol. Dalam hal
ini, seorang dapat dikatakan objektif apabila mampu menjadikan dirinya sebagai
orang lain dan mampu melepaskan diri dari ikatan-ikatan pribadinya. Dengan
demikian, seorang dikatakan objektif apabila tidak memiliki keterlibatan
personal dalan suatu masalah dan selalu berdasrkan fakta-fakta tanpa
dilatarbelakangi kepentingan ataupun komitmen. Lihat M. Saerozi, op. cit., h.
30-31
[14] Posisi ini
secara eksplisit dituangkan di dalam Bab X pasal 36-37 Undang-Undang Sisdiknas
Tim Redaksi BP. Cipta Jaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003),
h. 20
[15] Tim Redaksi
Rineka Cipta, Perubahan UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan SU-MPR Tahun 1999, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1999), h. 90-95
[16] Lihat, M.
Saeriozi, op. cit., h. 24
[17]
Nilai-nilai dan aspek tujuan pendidikan nasional tersebut, sepenuhnya adalah
nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai
peran yang menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional
tersebut.
[18] Yang
dimaksud dengan pendidikan agama sebagaimana dijelaskan pada ayat tersebut
adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang Islam berkepentingan
dengan pengetahuan ajaran-ajaran agama Islam, terutama yang berhubungan dengan
nilai-nilai keagamaan, moral, dan sosial budayanya. Oleh karenanya, pendidikan
Islam dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari system pendidikan
nasional.
[19]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Grafindo
Persada, 1996), h. 86-88
[20]
Menurut Ali Imran bahwa suatu isu dapat dijadikan sebagai agenda kebijakan
adalah apabila memenuhi kriteria-kriteria berikut: 1) Mempunyai sifat yang luar
biasa, yaitu suatu peristiwa yang tidak lazim atau yang istimewa dan mempunyai
implikasi yang luar biasa, 2) Berkenaan dengan kepentingan penguasa, 3)
Diungkapkan oleh media massa secara serentak, 4) Dikemukakan oleh elit akademik
yang mempunyai wawasan luar obyektif. Lihat Ali Imran, Kebijaksanaan
Pendidikan di Indonesia: Proses dan Masa Depannya, (Jakarta: Bumi Aksara,
1996), h. 47
[21]
Dedi Jubaedi, Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah: Telaah Teoritis dalam
Perspektif Pendidikan Nasional, dalam Marsuki Wahid, dalam Marzuki Wahid., op.
cit., h. 181
[22] Ibid
[23]
Abdul Mudjib, Strategi Pendidikan Islam di Era Reformasi, dalam Jurnal
Attarbiyah: Kajian Agama, Budaya, dan Kependidikan, Nomor 1. Th. XIII
Januari-Juni 2002, h. 58-59
[24]
Slamet Effendi Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan
Pergolakan Internal NU, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 1
[25] Hal
ini sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 1989, Bab V bagian kedua pasal 13a:
yang mengatakan bahwa Pendidikan Dasar diselenggarakan untuk mengembangkan
sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang
memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah (pendidikan
kelanjutannya)
[26] Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, Bab V bagian ketiga pasal 15
ayat 1 yang mengatakan bahwa pendidikan menengah untuk melanjutkan dan
meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbale balik dengan
lingkungan social budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan
lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
[27]
Yusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Gema
Insan Press, 1995), h. 19
0 komentar:
Posting Komentar